Kamis, 06 April 2017

MAKALAH FILSAFAT HAKIKAT YANG DIKAJI : ASUMSI, PELUANG, BEBERAPA ASUMSI ILMU DAN BATAS-BATAS PENJELAJAHAN ILMU

ONTOLOGI, HAKIKAT YANG DIKAJI: ASUMSI, PELUANG, BEBERAPA ASUMSI ILMU DAN BATAS-BATAS PENJELAJAHAN ILMU




Disusun Oleh:
Khadijah Karimah                            (2715162537)
Nurul Ifadah Yasri                            (2715163010)
Muhammad Fahd Aldhiya      (2715162289)



KATA PENGANTAR
          Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. yang telah Memberikan rahmat-Nya yang berupa keimanan, kesehatan dan keselamatan sehingga kami dapat menyelesaikan susunan makalah yang berjudul . Penulisan ini diajukan guna menyelesaikan tugas mata kuliah Filsafat Ilmu Program Studi Pendidikan Bahasa Arab Universitas Negeri Jakarta.
      Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini memberikan informasi bagi pembaca, mahasiswa, dan bermanfaat untuk pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua.

Jakarta, 6 April 2017

              Tim Penyusun












DAFTAR ISI

Kata Pengantar ……………………………………………………………….   i
Daftar Isi ……………………………………………………………………..   ii
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang ………………………………………………………   1
B.     Rumusan Masalah …………………………………………………...   1
C.     Tujuan Penulisan Makalah …………………………………………..   2
BAB II PEMBAHASAN
A.    Pengertian Ontologi …………………………………………………   3
B.     Asumsi …………………………………………………………...   4
C.     Peluang ……………………………………………………………....   8
D.    Beberapa Asumsi dalam Ilmu ………………………………………...  8
E.     Batas-batas Penjelajahan Ilmu ………………………………………   10
BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan ………………………………………………………….   12
B.     Saran …………………………………………………………………  13
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………….   14









BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang

Filsafat itu meliputi berbagai macam permasalahan. Adapun masalah utama yang harus kita bahas adalah masalah kenyataan, tentang realitas, tentang yang nyata dari sesuatu. Yang menjadi titik persoalan ialah kita harus memecahkan permasalahan realitas secara tepat, karena konsepsi kita tentang realitas mengontrol pertanyaan kita tentang dunia ini. Dan tanpa adanya pertanyaan, kita jelas tidak akan memperoleh jawaban dari mana kita nantinya akan membina kumpulan ilmu pengetahuan yang kita miliki dan menetapkan disiplin tentang masalah – masalah pokoknya.
Ontologi adalah ilmu yang mengkaji apa hakikat ilmu atau pengetahuan ilmiah yang sering kali secara populer banyak orang menyebutnya dengan ilmu pengetahuan, apa hakikat kebenaran rasional atau kebenaran deduktif dan kenyataan empiris yang tidak terlepas dari persepsi ilmu tentang apa dan bagaimana. Ontologi ilmu membatasi diri pada ruang kajian keilmuan yang dapat dipikirkan manusia secara rasional dan bisa diamati melalui panca indera manusia. Sementara kajian objek penelaahan yang berada dalam batas prapengalaman (seperti penciptaan manusia) dan pasca-pengalaman (seperti surga dan neraka) menjadi ontologi dari pengetahuan lainnya di luar ilmu.
Berdasar pada latar belakang inilah, tim penyusun membuat makalah dengan judul “Ontologi, Hakikat Apa yang Dikaji: Asumsi, Peluang, Beberapa asumsi dalam ilmu dan Batas – batas penjelajahan ilmu”.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang diatas, maka penulis menyusun beberapa topik  pembahasan sebagai berikut;
1.      Apakah Pengertian Ontologi?
2.      Apakah Pengertian Asumsi?
3.      Apakah Pengertian Peluang?
4.      Bagaimana Asumsi dalam Ilmu?
5.      Di mana Batas – batas penjelajahan dalam Ilmu?
C.     Tujuan Penulisan Makalah
Penulisan makalah ini bertujuan ;
1.      Untuk mengetahui pengertian Ontologi.
2.      Untuk mengetahui pengertian Asumsi.
3.      Untuk mengetahui pengertian Peluang.
4.      Untuk mengetahui deskripsi Asumsi dalam Ilmu.
5.      Untuk mengetahui Batas – Batas penjelajahan dalam Ilmu.
















BAB II
PEMBAHASAN



 Ontologi adalah ilmu yang mengkaji apa hakikat ilmu atau pengetahuan ilmiah yang sering kali secara populer banyak orang menyebutnya dengan ilmu pengetahuan, apa hakikat kebenaran rasional atau kebenaran deduktif dan kenyataan empiris yang tidak terlepas dari persepsi ilmu tentang apa dan bagaimana. Ontology ilmu membatasi diri pada ruang kajian keilmuan yang dapat dipikirkan manusia secara rasional dan bisa diamati melalui panca indera manusia. Sementara kajian objek penelaahan yang berada dalam batas prapengalaman (seperti penciptaan manusia) dan pasca-pengalaman (seperti surge dan neraka) menjadi ontology dari pengetahuan lainnya di luar ilmu.
Asumsi 
Asumsi adalah praduga anggapan sementara (yang kebenarannya masih dibuktikan). Timbulnya asumsi karena adanya permasalahan yang belum jelas, seperti belum jelasnya hakekat ala mini, yakni apakah gejala ala mini tunduk kepada determinisme, yakni hukum alam yang bersifat universal ataukah hukum semacam itu tidak terdapat sebab setiap gejala merupakan akibat pilihan bebas ataukah keumuman memang ada namun berupa peluang, sekedar tanggapan probalistik (kemungkinan sesuatu hal untuk terjadi). Paham determinisme dikembangkan oleh William Hamilton (1788-1856) dari doktrin Tomas Hubes (1588-1679) yang menyimpulkan bahwa pengetahuan adalah bersifat empiris yang dicerminkan oleh zat dan gerak universal. Aliran filsafat ini meruapakan lawan dari paham fatalisme yang berpendapat bahwa segala kejadian ditentukan oleh nasib yang telah ditetapkan dulu. Demikian juga paham determinisme ini bertentangan dengan penganut pilihan bebas yang menyatakan bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam menentukan pilihannya tidak terikat kepada hukum alam yang tidak memberikan alternative. 
Sifat asumsi :
Tidak mutlak atau pasti sebagaimana ilmu yang tidak pernah ingin dan tidak pernah berpretensi untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang bersifat mutlak. Jadi asumsi bukanlah suatu keputusan mutlak. 

Kedudukan ilmu dalam asumsi :
Ilmu memberikan pengetahuan sebagai dasar untuk mengambil keputusan, karena keputusan harus didasarkan pada penafsiran kesimpulan ilmiah yang bersifat relative.
Resiko asumsi :
Apa yang diasumsikan akan mengandung resiko secara menyeluruh. Seseorang yang mengasumsikan usahanya aakan berhasil maka direncanakan akan diadakan pesta keberhasilannya. Secara tiba-tiba usahanya dinyatakan tidak berhasil. Resikonya menggagalkan pelaksanaan pestanya.
Kesimpulan :
Sebuah asumsi adalah sebuah ketidakpastian
Asumsi perlu dirumuskan berdasarkan ilmu pengetahuan
Timbulnya asumsi karena adanya sesuatu kejadian/kenyataan

Beberapa asumsi dalam ilmu ;
Akan terjadi perbedaan pandang suatu masalah bila ditinjau dari berbagai kacamata ilmu begitu juga asumsi.
Ilmu sekedar merupakan pengetahuan yang mempunyai kegunaan praktis yang dapat membantu kehidupan manusia secara pragmatis. Pragmatis adalah sesuatu yang mengandung manfaat.

Asumsi-asumsi dalam ilmu contohnya ilmu Fisika yakni ilmu yang paling maju bila dibandingkan dengan ilmu-ilmu lain. Fisika merupakan ilmu teoritis yang dibangun atas sistem penalaran deduktif yang meyakinkan serta pembuktian induktif yang sangat mengesankan. Fisika terdapat celah-celah perbedaan yang terletak di dalam pondasi dimana dibangun teori ilmiah diatas yakni dalam asumsi tentang dunia fisiknya (zat, gerak, ruang dan waktu). 

Terdapat beberapa jenis asumsi yang dikenal, antara lain :
Aksioma : Pernyataan yang disetujui umum tanpa memerlukan pembuktian karena kebenaran sudah membuktikan sendiri.
Postulat : Pernyataan yang dimintakan persetujuan umum tanpa pembuktian, atau suatu fakta yang hendaknya diterima saja sebagaimana adanya.
Premise : Pangkal pendapat dalam suatu entimen. Pernyataan penting yang terkait dengan asumsi adalah bagaimana penggunaan asumsi secara tepat? Untuk menjawab permasalahan ini, perlu tinjauan dari awal bahwa gejala alam tunduk pada tiga karakteristik (Junjung, 2005) :

Deterministik
Paham determinisme dikembangkan oleh William Hamilton (1788-1856) dari doktrin Thomas Hobbes (1588-1679) yang menyimpulkan bahwa pengetahuan adalah bersifat empiris yang dicerminkan oleh zat dan gerak universal. Aliran filsafat ini merupakan lawan dari paham fatalisme yang berpendapat bahwa segala kejadian ditentukan oleh nasib yang telah ditetapkan lebih dahulu. 
Pilihan Bebas
Manusia memiliki kebebasan dalam menentukan pilihannya, tidak terikat pada hukum alam yang tidak memberikan alternatif. Karakteristik ini banyak ditemukan pada bidang ilmu sosial. Sebagai misal, tidak ada tolak ukur yang tepat dalam melambangkan arti kebahagiaan. Masyarakat materialistic menunjukkan semakin banyak harta semakin bahagia, tetapi di belahan dunia lain, kebahagiaan suatu suku primitive bisa jadi diartikan jika mampu melestarikan budaya animismenya. Sebagai mana pula masyarakat brahmana di India yang mengartikan bahagia jika mampu membendung hasrat keduniawiannya. Tidak ada ukuran yang pasti dalam pilihan bebas, semua tergantung ruang an waktu.
Probabilistik
Pada sifat probabilistik, kecenderungan keumuman dikenal memang ada namun sifatnya berupa peluang. Sesuatu akan berlaku deterministik dengan peluang tertentu. Probalistik menunjukkan sesuatu memiliki kesempatan untuk memiliki sifat deterministik dengan monelerir sifat pilihan bebas. Pada ilmu pengetahuan modern, karakteristik probabilitas ini lebih banyak dipergunakan. Dalam ilmu ekonomi misalnya, kebenaran suatu hubungan variabel diukur dengan metode statistic dengan derajat kesalahan ukur sebesar 5%. Pernyataan ini berarti suatu variabel dicoba dikuru kondisi deterministiknya hanya sebesar 95%, sisanya adalah kesalahan yang bisa ditoleransi. Jika kebenaran statistiknya kurang dari 95% berarti hubungan variabel tersebut tidak mencapai sifat-sifat deterministik menurut kriteria ilmu ekonomi.
Dalam menentukan suatu asumsi dalam perspektif filsafat, permasalahan utamanya adalah mempertanyakan pada diri sendiri (peneliti) apakah sebenarnya yang ingin dipelajari dari ilmu. Terdapat kecenderungan, sekiranya menyangkut hukum kejadian yang berlaku bagi seluruh manusia, maka harus bertitik tolak pada paham deterministik. Sekiranya yang dipilih adalah hukum kejadian yang bersifat khas bagi tiap individu manusia maka akan digunakan asumsi pilihan bebas. Di antara kutub deterministic dan pilihan bebas, penafsiran probabilistic merupakan jalan tengahnya. 
Ilmuwan melakukan kompromi sebagai landasan ilmu. Sebab ilmu sebagai pengetahuan yang berfungsi membantu manusia dalam memecahkan masalah praktis sehari-hari, tidak perlu memiliki kemutlakan seperti agama yang berfungsi memberikan pedoman terhadap hal-hal hakiki dalam kehidupan. Karena itu, harus disadari bahwa ilmu tidak pernah ingin dan tidak pernah berpretensi untuk mendapatkan pengetahuan yang bersifat mutlak. Ilmu memeberikan pengetahuan sebagai dasar untuk mengambil keputusan, dimana keputusan itu harus didasarkan pada penafsiran kesimpulan ilmiah yang bersifat relative.
Jadi, berdasarkan teori-teori keilmuan, tidak akan pernah didapatkan hal pasti mengenai suatu kejadia. Yang didapatkan adalah kesimpulan yang probabilistik , atau bersifat peluang. 
Peluang 
Peluang secara sederhana diartikan sebagai probabilitas. Peluang 0.8 secara sederhana dapat diartikan bahwa probabilitas untuk suatu kejadian tertentu adalah 8 dari 10 (yang merupakan kepastian). Dari sudut keilmuan hal tersebut memberikan suatu penjelasan bahwa ilmu tidak pernah ingin dan tiak pernah berpretensi untuk mendapatkan pengetahuan yang bersifat mutlak. Tetapi ilmu memberikan pengetahuan sebagai dasar bagi manusia untuk mengambil keputusan, dimana keputusan itu harus didasarkan kepada kesimpulan ilmiah yang bersifat relatif. Dengan demikian maka kata akhir dari suatu keputusan terletak ditangan manusia pengambil keputusan itu dan bukan pada teori-teori keilmuwan. 
Asumsi dalam Ilmu  
Waktu kecil segalanya kelihatan besar, pohon terasa begitu tinggi, orang-orang tampak seperti raksasa Pandangan itu berubah setelah kita berangkat dewasa, dunia ternyata tidak sebesar yang kita kira, wujud yang penuh dengan misteri ternyata hanya begitu saja. Kesemestaan pun menciut, bahkan dubia bisa sebesar daun kelor, bagi orang yang putus asa.
Katakanlah kita sekarang sedang mempelajari ilmu ukur bidang datar (planimetri). Dengan ilmu itu kita membuat membuat kontruksi kayu bagi atap rumah kita. Sekarang dalam bidang datar itu tidak rata dan mulus melainkan bergelombang, penuh dengan lekukan yang kurang mempesona. Permukaan yang rata berubah menjadi kumpulan berjuta kurva.
Asumsi dan skala observasi 
Mengapa terdpat perbedaan pandangan yang nyata terhadap obyek yang begitu konkret seperti sebuah bidang? Ahli fisika Swisss Charles-Eugene Guye menyimpulkan gejala itu diciptkan oleh skala observasi. Bagi skala observasi anak kecil pohon-pohon natal itu begitu gigantic, sedangkan bagi skala observasi amuba, bidang datar ini merupakan daerah permukiman yang berbukit-bukit.
Jadi secara mutlak sebenarnya tak ada yang tahu seperti apa sebenaranya bidang datar itu, hanya Tuhan yang tahu! Secara filsafati mungkin ini merupakan masalah besar namun bagi ilmu masalah ini didekati secara praktis. Seperti disebutkan terdahulu ilmu sekadar merupakan pengetahuan yang mempunyai kegunaan praktis yang dapat membantu kehidupan manusia secara pragmatis. Dengan demikian maka untuk tujuan membangun atap rumah, sekiranya kita asumsikan bahwa permukaan papan itu adalah bidang atr, maka secara pragmatis hal ini dapat dipertanggungjawabkan. 
Pada awalnya kausalitas dalam ilmu-ilmu alam menggunakan asumsi determinisme. Namun asumsi ini goyang ketika MaxPlanck pada tahun 1900 menemukan teori Quantum. Teori ini menyatakan bahwa radiasi yang dikeluarkan materi tidak berlangsung secara konstan namun terpisah-pisah yang dinamakan kuanta. Fisika quantum menunjukkan adanya partikel-partikel yang melanggar logika hukum fisika dan bergerak secara tak terduga.
Selanjutnya indeterministik dalam gejala fisik ini muncul dengan pemenuhan Niels Bohr dalam Prinsip Komplementer yang dipublikasikan pada tahun 1913. Prinsip komplementer ini menyatakan bahwa electron bisa berupa gelombang cahaya dan bisa juga berupa partikel tergantung dari konteksnya. Masalah ini yang menggoyahkan sendi-sendi fisika ditambah lagi dengan penemuan Prinsip Indeterministik oleh Werner Heisenberg pada tahun 1927, menyatakan bahwa untuk pasangan besaran tertentu yang disebut conjugate magnitude pada prinsipnya tidak mungkin mengukur kedua besaran tersebut pada waktu yang sama dengan ketelitian yang tinggi. Prinsip Indeterministik ini, kata William Barret, menunjukkan bahwa terdapat limit dalam kemampuan manusia untuk mengetahui dan meramalkan gejala-gejala fisik. 
Ilmu-ilmu ini bersifat otonom dalam bidang pengkajiannya masing-masing dan “berfederasi” dalam suatu pendekatan multidisipliner. (jadi buka “fusi” dengan penggabungan asumsi yang kacau balau).
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pengembangan asumsi 
Asumsi ini harus relevan dengan bidang dan tujuan pengkajian disiplin keilmuan.
Asumsi ini harus operasional dan merupakan dasar bagi pengkajian teoretis. Asumsi manusia dalam administrasi yang bersifat operasional adalah makhluk ekonomis, makhluk sosial, makhluk aktualisasi diri atau makhluk yang kompleks. Berdasarkan asumsi-asumsi ini maka dapat dikembangkan berbagai model, strategi, dan praktek adminitrasi.
Asumsi ini harus disimpulkan dari ‘keadaan sebagaimana adanya’ bukan ‘bagaimana keadaan yang seharusnya’.
Sekiranya dalam kegiatan ekonomis maka manusia yang berperan adalah manusia ‘yang mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan pengorbanan sekecil-kecilnya’ maka itu sajalah yang kita jadikan sebagai pegangan tidak usah ditambah dengan sebaiknya begini, atau seharusnya begitu. Sekiranya asumsi semacam ini dipakai dalam penyusunan kebijaksanaan, atau strategi, serta penjabaran peraturan alinnya, maka hal ini bisa saja dilakukan dalam analisis teori keilmuan sebab metafisika keilmuan berdasarkan kenyataan sesungguhnya sebagimana adanya.
Seseorang ilmuwan harus benar-benar mengenal asumsi yang dipergunakan dalam analisis keilmuannya, sebab mempergunakan asumsi yang berbeda, maka berarti berbeda pula konsep pemikiran yang dipergunakan. Sesuatu yang belum tersurat (atau terucap) dianggap belum diketahui atau belum mendapat kesamaan pendapat.
Batas Penjelajahan Ilmu 
Ilmu memulai penjelajahannya pada pengalaman manusia dan berhenti di batas pengalaman manusia. Apakah ilmu mempelajari hal ihwal surge dan neraka? Jawabnya adalah tidak; sebab surge dan neraka derada di luar jangkauan pengalaman manusia. Baik hal-hal yang terjadi sebelum hidup kita, maupun apa-apa yang terjadi sesudah kematian kita, semua itu berada di luar penjelajahan ilmu.
Mengapa ilmu hanya membatasi daipada hal-hal yang berbeda dalam batas pengalaman kita? Jawabnya terletak pada fungsi ilmu itu sendiri dalm kehidupan manusia: yakni sebagai alat pembantu manusia dalam menanggulangi masalah-masalah yang dihadapinya sehari-hari. Persoalan mengenai hari kemudian tidak akan kita nyatakan kepada ilmu, melainkan kepada agama, sebab agamalah pengetahuan yang mengkaji masalah-maslah seperti itu.
Ilmu membatasi lingkup penjelajahannya pada batas pengalaman manusia juga disebabkan metode yang dipergunakan dalam menyusun yang telah teruji kebenarannya secara empiris. Sekiranya ilmu memasukkan daerah di luar batas pengalaman empirisnya, bagaimana kita melakukan pembuktian secara metodologis? Bukankah hal ini merupakan suatu kontradiksi yang menghilangkan keahlian metode ilmiah?
Kalau begitu maka sempit sekali batas jelajahan ilmu, kata seorang. Cuma sepotong dari sekian permasalahan kehidupan. Memang demikian, jawab filsuf ilmu, bahkan dalam batas pengalaman manusia pun, ilmu hanya berwenang dalam menentukan benar atau salahnya suatu pernyataan. Tentang baik dan buruk, semua (termasuk ilmu) berpaling kepada pengkajian estetik. Ilmu tanpa (bimbingan moral) agama adalah buta, demikian kata Einstein.
Dengan makin sempitnya daerah penjelajahan suatu bidang keilmuan maka sering sekali diperlukan “pandangan” dari disiplin-disiplin lain. Saling pandang-memandang ini, atau dalam bahasa protokolnya pendekatan multi-disipliner, membutuhkan pengetahuan tentang tetangga-tetangga yang berdekatan. Artinya harus jelas bagi semua : dimana disiplin seseorang berhenti dan dimana disiplin prang lain mulai. Tanpa kejelasan batas-batas ini maka pendekatan multidisipliner tidak akan bersifat konstruktif melainkan berubah menjadi sengketa kapling (yang sering terjadi akhir-akhir ini). 
Cabang-cabang ilmu
Ilmu berkembang dengan sangat pesat dan demikian juga jumlah cabang-cabangnya. Hasrat untuk menspesialisasikan diri pada satu bidang telaahan yang memungkinkan analisis yang makin cermat dan saksama menyebabkan obyek forma (obyek ontologis) dari disiplin keilmuwan menjadi kian terbatas. Diperkirakan sekarang ini terdapat sekitar 650 cabang keilmuan yang kebanyakan belum dikenal oleh orang-orang awam.
Pada dasarnya cabang-cabang ilmu tersebut berkembang dari dua cabang utama yakni filsafat alam yang kemudian menjadi rumpun ilmu-ilmu alam dan filsafat moral yang kemudian berkembang ke dalam cabang ilmu-ilmu sosial. 










BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Dari Pembahasan yang telah dilakukan diperoleh beberapa kesimpulan :
1.      Ontologi merupakan suatu teori tentang makna dari suatu objek, property dari suatu objek, serta relasi objek tersebut yang mungkin terjadi pada suatu domain pengetahuan. Ringkasnya, pada tinjauan filsafat, ontologi adalah studi tentang sesuatu yang ada.
2.      Pembahasan ontologi terkait dengan pembahasan mengenai metafisika. Mengapa ontologi terkait dengan metafisika? Ontologi membahas hakikat yang “ada”, metafisika merupakan bagian dari ontologi, tetapi pada pembahasan lain, ontologi merupakan salah satu dimensi saja dari metafisika. Karena itu, metafisika dan ontologi merupakan dua hal yang saling terkait. Bidang metafisika merupakan tempat berpijak dari setiap pemikiran filsafati, termasuk pemikiran ilmiah. Metafisika berusaha menggagas jawaban tentang apakah alam ini.
3.      Asumsi diperlukan untuk mengatasi penelaahan suatu permasalahan menjadi lebar. Semakin terfokus obyek telaah suatu bidang kajian, semakin memerlukan asumsi yang lebih banyak. Asumsi dapat dikatakan merupakan latar belakang intelektal suatu jalur pemikiran. Asumsi dapat diartikan pula sebagai merupakan gagasan primitif, atau gagasan tanpa penumpu yang diperlukan untuk menumpu gagasan lain yang akan muncul kemudian. Asumsi diperlukan untuk menyuratkan segala hal yang tersirat. McMullin (2002) menyatakan hal yang mendasar yang harus ada dalam ontologi suatu ilmu pengetahuan adalah menentukan asumsi pokok (the standard presumption) keberadaan suatu obyek sebelum melakukan penelitian.
4.      Dasar teori keilmuan di dunia ini tidak akan pernah terdapat hal yang pasti mengenai satu kejadian, hanya kesimpulan yang probabilistik. Ilmu memberikan pengetahuan sebagai dasar pengambilan keputusan di mana didasarkan pada penafsiran kesimpulan ilmiah yang bersifat relatif.
5.      Seseorang ilmuwan harus benar-benar mengenal asumsi yang dipergunakan dalam analisis keilmuannya, sebab mempergunakan asumsi yang berbeda, maka berarti berbeda pula konsep pemikiran yang dipergunakan.
6.      Ilmu membatasi lingkup penjelajahannya pada batas pengalaman manusia juga disebabkan metode yang dipergunakan dalam menyusun yang telah teruji kebenarannya secara empiris. Jika tanpa kejelasan batas-batas ini maka pendekatan multidisipliner tidak akan bersifat konstruktif melainkan berubah menjadi sengketa kapling
B.  Saran
Berdasar pada pembahasan diatas tentang “Ontologi, Hakikat Apa yang Dikaji: Asumsi, Peluang, Beberapa asumsi dalam ilmu dan Batas – batas penjelaqjahan ilmu”, maka penulis memberikan saran sebagai berikut :
1.      Memperluas cakupan materi yang berkaitan dengan obyek bahasan.
2.      Membuat peta konsep dari pembahasan ini yang bertujuan untuk memudahkan para pembaca memahami secara singkat.











DAFTAR PUSTAKA

Jujun S. Suriasumantri
Filsafat Ilmu Sebuah Pengantat Populer
Dengan Kata Pengantar
Andi Hakim Nasution

Tidak ada komentar:

Posting Komentar