Kamis, 25 Mei 2017
FILSAFAT ILMU MATEMATIKA DAN STATISTIKA (Kelompok 9)
MAKALAH FILSAFAT ILMU
MATEMATIKA DAN STATISTIKA

DISUSUN OLEH:
Arif Herdiansyah : 2715162266
Elma Damayanti : 2715160955
Lulu Maulidil Hasanah : 2715165261
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
PRODI PENDIDIKAN BAHASA ARAB
Tahun Ajaran 2017
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim,
Puji dan Syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat limpahan
Rahmat dan Karunia-nya sehingga kami dapat menyusun makalah ini tepat pada
waktunya. Dalam makalah ini kami akan membahas mengenai “Filsafat Ilmu
Matematika dan Statistika”.
Makalah ini telah dibuat dari berbagai pihak Oleh karena itu, kami
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang
mendasar pada makalah ini. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun
bagi pembaca akan penulis terima dengan senang hati demi penyempurnaan makalah
ini di masa mendatang. Semoga makalah ini bermanfaat, bagi penulis khususnya
dan bagi pembaca pada umumnya.
Jakarta, 19 April 2017
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar......................................................................................................................
2
Daftar Isi................................................................................................................................ 3
BAB I PENDAHULUAN
A. LatarBelakang.......................................................................................................
4
B. RumusanMasalah..................................................................................................
4
C. TujuanPembahasan................................................................................................ 4
BAB II PEMBAHASAN
A.MATEMATIKA.................................................................................................... 5
B.STATISTIKA 10
BAB III PENUTUP
Kesimpulan................................................................................................................ 13
DaftarPustaka............................................................................................................ 14
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Matematika adalah bahasa yang melambangkan
serangkaian makna dari pernyataan yang ingin kita sampaikan. Lambang-lambang
matematika bersifat “artifisial” ( buatan atau tidak alami) yang baru mempunyai arti setelah sebuah makna
diberikan padanya. Dimana jika matematika dijadikan sebagai bahasa penyampaian,
maka hal itu tidak akan menimbulkan emosional karena jelas sifat dan maknanya. Matematika
menjadikan ilmu itu berkembang dari pernyataan kualitatif menjadi kuantitatif.Ilmu
ini menjadikan kita bisa menghemat kata dalam menjelaskan sesuatu dan
mempermudahnya dengan perumpamaan lambang.
Sama halnnya dengan matematika, statistika juga ilmu
yang sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia.Statistik memberi pernyataan umum
terhadap suatu masalah dan bisa menjadi dasar peluang sutau kejadian untuk bisa
terjadi.Data-data statistik menjadikan manusia dapat mengambil langkah
selanjutnya untuk mengatasi permasalahan.Maka, disusunlah makalah ini sebagai
dasar pengetahuan kita dalam memahami hakekat matematika dan statistika itu
sendiri.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana matematika bisa menjadi media bahasa?
2. Bagaimana sifat kuantitatif dari
matematika itu sendiri?
3. Bagaimana sejarah, tahap, perkembangan, dan
peradaban matematika?
4. Apa maksud dari matematika sebagai
sarana berpikir deduktif?
5. Apa saja aliran filsafat matematika?
6. Apa pengertian statistika?
7. Apa yang dimaksud dengan statistika
sebagai sarana berpikir induktif dan apa saja karakteristiknya?
C. TUJUAN PENULISAN
1.
Agar
kita dapat mengetahui bagaimana perkembangan matematika dilihat dari sejarah
dan peradabannya.
2.
Agar
kita dapat mengetahui hakikat fungsi matematika dalam dunia kelimuan
3.
Agar
kita dapat mengetahui hakikat fungsi statistika dalam dunia kelimuan
4.
Agar
kita dapat mengeatahui bagaimana matematika dan statistika hasil dari pemikiran
yang mendalam (filsafat)
BAB
II
PEMBAHASAN
1. MATEMATIKA
A. Matematika Sebagai Bahasa
Matematika adalah bahasa yang melambangkan
serangkaian makna dari pernyataan yang ingin kita sampaikan. Lambang-lambang
matematika bersifat “artifisial”( buatan atau tidak alami) yang baru mempunyai arti setelah sebuah makna
diberikan padanya. Tanpa itu maka matematika hanya merupakan
kumpulan rumus-rumus mati.Matematika adalah ilmu tentang bilangan, hubungan
antara bilangan, dan prosedur operasional yang digunakan dalam penyelesaian
masalah mengenai bilangan.
Lambang-lambang
dari matematika dibikin secara artifisial dan individual yang merupakan
perjanjian khusus untuk masalah yang dikaji. Sebuah obyek yang sedang kita
telaah dapat dilambangkan dengan apa saja sesuai dengan perjanjian kita.
Umpamanya jika kita sedang mempelajari kecepatan
jalan kaki seorang anak maka obyek “kecepatan
jalan kaki seorang anak”kita lambangkan dengan huruf “x”. Dalam hal ini maka
“x” hanya memiliki satu arti yaitu “kecepatan jalan kaki seorang anak”. Demikian
juga jika kita hubungkan “kecepatan jalan kaki seorang anak” dengan objek lain
umpamanya “jarak yang ditempuh seorang anak”, dimana bisa kita lambangkan
dengan huruf “y”, maka akan terjadi sebuah persamaan z = y/x. Dalam hal ini
maka persamaan tersebut hanya mengemukakan informasi mengenai hubungan antara
x, y, dan z. Hal ini dapat menjadikan dasar bahwa pernyataan tematik mempunyai
sifat yang jelas, spesifik, dan informatif dengan tidak menimbulkan konotasi
yang bersifat emosional.
B. Sejarah Perkembangan Matematika
Griffits dan Howson
(1974)sebagaimana dikutip oleh Jujun S. Suamantri, membagi sejarah perkembangan
matematika menjadi empat tahap.Tahap yang pertama dimulai dengan matematika
yang berkembang pada peradaban Mesir Kuno dan daerah sekitarnya seperti Babylonia
dan Mesopotamia. Waktu itu matematika telah dipergunakan dalam perdgangan,
pertanian, banguna, dan usaha mengontrol
alam seperti banjir. Tahap yang ke dua, matematika mendapatkan momentum baru
dalam peradaban Yunani yang sangat memperhatikan aspek estetik dari matematika.
Dapat dikatakan bahwa peradaban Yunani inilah yang meletakkan dasar matematika
sebagai cara berfikir rasional dengan menetapkan berbagai langkah dan defenisi
tertentu. kaum cendekiawan Yunani, terutama mereka yang kaya, mempunyai budak
belian yang mengerjakan pekerjaan kasar termasuk hal-hal yang praktis seperti
melakukan pengukuran. Dengan demikian maka kaum cendikiawan ini dapat
memusatkan perhatiannya kepada aspek estetik dari matematika yang merupakan
symbol status dari golongan atas waktu itu.Perkembangan selanjutnya matematika
berkembang di timur sekitar tahun 1000 M. dimana bangsa Arab, India, dan Cina
mengembangkan ilmu hitung dan aljabar.Tahap ke tiga gagasan-gagasan orang
Yunani dan penemuan ilmu hitung dan al-Jabar itu dikaji kembali dalam zaman
Renaissance yang meletakkan dasar bagi kemajuan matematika modern
selanjutnya.Dan tahap ke empat matematika berkembang dengan pesat diujung abad
17 dan masa revolusi industry di abad ke -18.
Matematika
mempunyai kelebihan lain dibandingkan dengan bahasa verbal. Matematika
mengembangkan bahasa numerik yang memungkinkan kita untuk melakukan sesuatu
pengukuran secara kuantitatif.Bahasa verbal hanya mampu mengemukakan pernyataan
yang bersifat kualitatif. Contohnya, kita hanya bisa mengemukakan bahwa logam
yang dipanaskan akan memanjang. Namun, kita tidak bisa mengatakan dengan tepat
berapa besar pertambahan panjangnya.Untuk mengatasi masalah ini matematika
mengembangkan konsep pengukuran.Lewat pengukuran, kita dapat mengetahui dengan
tepat berapa panjang sebatang logam dan berapa pertambahan panjangnya kalau
dipanaskan.
Dengan
mengetahui hal ini maka pernhyataanilmiah
yang berupa pernyataan ilmiah yang berupa pernyataan kualitatif seperti
“sebatang logam kalau dipanaaskan akan memanjang” dapat diganti dengan
pernyataan yang lebih eksak umpamanya :
Pt
= Po (1 + nt), dimana Pt merupakan panjang logam pada tremperatur
t, Po merupakan panjang logam tersebut
pada temperature nol dan n merupakan koefisien pemuai logam tersebut.
Sifat
kuantitatif dari matematika ini meningkatkan daya prediktif dan kontrol dari
ilmu.Matematika memungkinkan ilmu mengalami perkembangan dari tahap kualitatif
ke kuantitatif.
D. Matematika Sarana Berpikir Deduktif
Berpikir deduktif adalah berpikir dengan cara menacari fakta-fakta
umumnya terlebih dahulu baru kemudian menyimpulkannya secara khusus. Proses
pengambilan kesimpulannya didasarkan pada premis-premis yang kebenarannya telah
ditentukan.
Untuk
menghitung jumlah sudut dalam segitiga tersebut kita mendasarkan kepada premis
bahwa kalau terdapat dua garis sejajar maka sudut-sudut yang dibentuk kedua
garis sejajar tersebut dengan garis ketiga adalah sama. Premis yang kedua
adalah bahwa jumlah sudut yang dibentuk oleh sebuah garis lurus adalah 180
derajat.
Dari
contoh di atas kita dapat menyimpulkan bahwa secara deduktif, matematika
menemukan pengetahuan yang baru berdasarkan premis-premis tertentu.Dari
beberapa premis yang telah kita ketahui kebenarannya dapat ditemukan
pengetahuan-pengetahuan lainnya yang memperkaya perbendaharaan ilmiah kita.
E. Tahap Perkembangan Matematika
Ditinjau
dari perkembangannya maka ilmu dapat dibagi dalam tiga tahap yaitu tahap
sistematika, komparatif, dan kuantitatif.Pada tahap sistematika, ilmu mulai
menggolongkan obyek empiris ke dalam kategori-kategori tertentu.Penggolongan
ini memungkinkan kita untuk menemukan ciri-ciri umum dari anggota-anggota yang
menjadi kelompok tertentu.
Pada
atahap komparatif artinya, melakukan perbandingan antara obyek yang satu dengan
obyek yang lain, kategori yang satu dengan kategori yang lain. Kita mulai
mencari hubungan yang didasarkan kepada perbandingan antara di berbagai obyek
yang sedang kita kaji.
Tahap
selanjutnya adalah tahap kuantitatif, dimana kita mencari hubungan sebab akibat
tidak lagi berdasarkan perbandingan melainkan berdasarkan pengukuran yang eksak
dari obyek yang sedang kita kaji.
Memang tidak
semua ahli filsafat setuju dengan pernyataan bahwa matematika adalah
pengetahuan yang bersifat deduktif. Namun pada dasarnya orang berpendapat bahwa
matematika merupakan pengetahuan yang bersifa rasional yang kebenarannya tidak
tergantung kepada pembuktian secara empiris karena perhitungan matematika
bukanlah suatu eksperiment .Memang menurut akal sehat sehari-hari,
kebenaran matematika tidak ditentukan
oleh pembuktian secara empiris, melainkan kepada proses penalaran deduktif.
Disamping sarana berpikir deduktif yang merupakan aspek estetik, matematika
juga merupakan kegunaan praktis dalam kehidupan sehari-hari semua masalah
kehidupan yang membutuhkan pemecahan secara cermat dan teliti mau tidak mau
harus berpaling kepada matematika..
Griffits dan
Howson membagi sejarah perkembangan metematika menjadi 4 tahap.Dan bagi dunia
keilmuan matematika berperan sebagai bahasa simbolik yang memungkinkan
terwujudnya komunikasi yang cermat dan tepat. Suatu rumus yang jika ditulis
dengan bahasa verbal memerlukan kalimat yang banyak sekali, dimana makin banyak kata-kata yang di pergunakan maka makin besar
pula peluang terjadinya salah informasi dan salah interprestasi. Maka dalam
bahasa matematika cukup ditulis dengan model yang sederhana sekali.Matematika sebagai bahasa mempunyai cirri sebagaimana di
katakan oleh Morris Kline yakni bersifat ekonomis dengan kata-kata.
Kriteria
kebenarandari matematika adalah konsisten dari berbagai postulat, definisi, dan
berbagai aturan permainan lainnya.Maka, matematika sendiri tidak bersifat
tunggal seperti juga logika.
F.
Beberapa Aliran dalam Filsafat Matematika
Dalam
bagian terdahulu disebutkan dua pendapat tentang matematika yakni dari Immanuel
Kant (1724-1804) yang berpendapat bahwa matematika merupakan pengetahuan yang
bersifat sintetik apriori dimana eksistensi matematika tergantung dari panca
indra serta pendapat dari aliran yang
disebut logistik yang berpendapat bahwa matematika merupakan cara berpikir
logis yang salah atau benarnya dapat ditentukan tanpa mempelajari dunia empiris
. Akhir-akhir ini filsafat Khant tentang matematika ini mendapat momentum baru
dalam aliran yang disebut ‘instuisionis’ dengan eksponen utamanya adalah
seorang ahli matematika berkebangsaan Belanda bernama Jan Rouwer (1881-1966).
Disamping
2 aliran ini terdapat pula aliran ketiga yang dipelopori oleh David Hilbert
(1862-1925) dan terkenal dengan sebutan kaum formalis.Tesis utama kaum logistik
adalah bahwa matematika murni merupakan cabang dari logika.Tesis ini mula-mula
dikembangkan oleh Gottlob Frage (1848-1925) yang menyatakan bahwa hukum-hukum
bilangan dapat di reduksikan ke proposisi-proposisi logika.Kaum formalis
menolak anggapan kaum logistik yang menyatakan bahwa konsep matematika di
reduksikan menjadi konsep logika. Mereka berpendapat bahwa banyak
masalah-masalah dalam bidang logika yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan
matematika. Bagi mereka matematika merupakan pengetahuan tentang struktur
formal dari lambang.Kaum formalis menekankan kepada aspek formal dari
matematika sebagai bahasa perlambangan dan mengusahakan konsisten dalam
penggunaan matematika sebagai bahasa lambang.
Tidak
satu pun dari tiga aliran di atas sepenuhnya berhasil dalam usahanya.Walaupun
demikian perbedaan pandangan ini tidak melemahkan perkembangan matematika
justru sebaliknya dimana satu aliran menginspirasi kepada aliran-aliran lainya
di titik-titik pertemuan yang disebut black sebagai kompromi yang
bersifat ekleterik.kaum logistik mempergunakan simbol yang diperkembangkan oleh
kaum formalis dalam kegiatan analisisnya.Kaum intuisionis memberikan titik
tolak dalam mempelajari matematika dalam perspektif kebudayaan suatu masyarakat
tertentu yang memungkinkan di perkembangkannya filsafat pendidikan yang sesuai.
G.
Matematika dan Peradaban
Matematika
dapat dikatakan hampir sama tuanya dengan peradaban manusia itu sendiri.
Matematika merupakan bahasa artificial yang dikembangkan untuk menjawab
kekurangan bahasa verbal yang bersifat alamiah, untuk itu diperlukan usaha
tertentu untuk menguasai matematika dalam bentuk kegiatan belajar dan
matematika makin lama makin bersifat abstrak dan esoterik yang makin jauh dari
tangkapan orang awam magis misterius. Bagi ilmu sendiri, matematika meyebabkan
perkembangan yang sangat cepat. Tanpa matematika maka pengetahuan akan berhenti
pada kualitatif yang tidak memungkinkan untuk meningkatkan penalarannya lebih
jauh. Singkatnya bagi bidang keilmuan modern, matematika adalah sesuatu yang
imperative sebagai sebuah saran untuk meningkatkan kemampuan penalaran
deduktif.
Namun
pihak lain yang tidak tahu tentang matematika ini sering menyebabkan suatu
bidang keilmuan terpaku pada tahap kualitatif. Dimana tanpa mengurangi rasa
penghargaan kita terhadapnya, tetap merupakan bidang keilmuan yang belum tumbuh
sempurna.Bertrand Russell menyatakan ilmu kualitatif adalah masa kecil kuantitatif.Ilmu
kuantitatif merupakan masa dewasa ilmu kualitatif dimana ilmu yang sehat
seperti kita manusia adalah terus tumbuh dan mendewasa.
Angka tidak bertujuan
menggantikan kata-kata.Pengukuran sekedar unsur dalam menjelaskan persoalan
yang menjadi pokok-pokok analisis utama teknik matematika yang tinggi bukan
merupakan penghalang untuk mengkomunikasikan pernyataan yang dikandungnya dalam
kalimat-kalimat yang sederhana.Matematika merupakan sarana untuk mempermudah
memahami suatu ungkapan ke dalam simbol, sehingga menghemat dari segi bahasa
serta mudah dipahami. Matematika merupakan suatu cara yang paling mudah dalam
memformulasikan hipotesa keilmuwan. Matematika memiliki ciri utama sebagai
metode dalam penalaran.
2. STATISTIKA
A. Pengertian Statistika
a. Statistika adalah logika berpikir secara
induktif, yaitu penarikan kesimpulan setelah dihadapkan kepada sebuah
permasalahan mengenai banyaknya kasus yang harus diamati sampai kepada suatu
kesimpulan yang bersifat umum.
b. Statistika adalah ilmu tentang cara
mengumpulkan, menabulasi, menggolong-golongkan, menganalisis, dan mencari
keterangan yang berarti dari data yang berupa angka.
c. Statistika adalah pengetahuan yang berhubungan
dengan pengumpulan data, penyelidikan dan kesimpulannya berdasarkan bukti,
berupa catatan bilangan (angka-angka).
Hampir sama dengan logika matematika,
statistika selain berupa angka-angka, ia juga merupakan bidang keilmuwan yang
memberi arti pada lambang, formula, dan teorema. Ia seperti tata buku, selain merupakan
kumpulan berbagai prinsip dan metode, namun ia juga berarti rekening, neraca, dan
perhitungan pendapatan. Bidang keilmuwan statistika adalahsekumpulan metode
untuk memperoleh dan menganalisa data dalam mengambil suatu kesimpulan.Perbedan
antara matematika dan statistika terletak pada logika yang digunakan.Matematika
menggunakan logika deduktif, sedangkan statistika menggunakan logika induktif.
Peluang
merupakan dasar dari teori statistika,
merupakan konsep baru yang tidak dikenal dalam pemikiran Yunani Kuno, Romawi
dan bahkan Eropa dalam abad pertengahan.
Teori mengenai kombinasi bilangan sudah terdapat dalam aljabar yang di
kembangkan sarjana muslim namun bukan dalam lingkup teori peluang. Begitu
dasar-dasar peluang ini dirumuskan maka dengan cepat bidang telaahan ini
berkembang.
Konsep
statistika sering dikaitkan dengan distribusi variabel yang di telaah dalam
suatu populasi tertentu. Abraham Demoivre(1667-1754) mengembangkan teori galat atau kekeliruan
(Theory of error). Pada tahun 1757 Thomas Simpson menyimpulkan bahwa terdapat
suatu distribusi yang berlanjut (continuous distribution) dari suatu variabel
dalam suatu frekuensi yang cukup banyak. Pierre simon de Laplace (1749-1827)
mengembangkan konsep Demoivre dan Simpson ini lebih lanjut dan menemukan
distribusi normal. Sebuah konsep yang mungkin paling umum dan paling banyak
dipergunakan dalam analisis statistika di samping teori peluang.
B. Statistika dan Cara Berfikir Induktif
Ilmu secara
sederhana dapat didefinisikan sebagai pengetahuan yang telah teruji
kebenarannya.Semua pernyataan ilmiah adalah bersifat faktual, dimana
konsekuensinya dapat diuji baik dengan jalan mempergunakan pancaindera, maupun
dengan mempergunakan alat-alat yang membantu pancaindera tersebut.Pengujian
secara empiris merupakan salah satu mata rantai dalam metode ilmiah yang
membedakan ilmu dari pengetahuan-pengetahuan lainnya. Kalau kita telaah lebih
dalam maka pengujian merupakan suatu proses pengumpulan fakta yang relevan
dengan hipotesis yang diajukan.
Pengujian mengharuskan kita untuk menarik kesimpulan yang bersifat
umum dari kasus-kasus yang bersifat individual. Logika deduktif berpaling
kepada matematika sebagai sarana penalaran penarikan kesimpulan sedangkan
k=logika induktif berpaling kepada statistika. Statistika merupakan pengetahuan
untuk melakukan penarikan kesimpulan induktif secara lebih seksama.
Penarikan
kesimpulan induktif pada hakikatnya berbeda dengan penarikan kesimpulan secara
deduktif.Dalam penalaran deduktif maka kesimpulan yang di tarik adalah benar
sekiranya premis-premis yang dipergunakannya adalah benar dan prosedur
penarikan kesimpulannya adalah sah.Sedangkan dalam penalaran induktif meskipun
premis-premisnya adalah benar dan prosedur penarikan kesimpulannya adalah sah
maka kesimpulan itu belum tentu benar. Yang dapat kita katakan adalah bahwa
kesimpulan itu mempunyai peluang untuk
benar. Statistika merupakan pengetahuan yang memungkinkan kita untuk menghitung
tingkat ini denga eksak.
Statistika
mampu memberikan secara kuantitatif tingkat ketelitian dari kesimpulan yang
ditarik tersebut, yang pada pokoknya didasarkan
pada asas yang sangat sederhana, yakni makin besar contoh yang di ambil maka
semakin tinggi tingkat ketelitian kesimpulan tersebut.Sebaliknya makin sedikit
contoh yang diambil maka makin rendah pula tingkat ketelitiannya.
Statistika juga
memberikan kemampuan kepada kita untuk mengetahui apakah suatu hubungan
kausalita antara dua faktor atau lebih bersifat kebetulan atau memang
benar-benar terkait dalam suatu hubungan yang bersifat empiris.Statistika
berfungsi meningkatkan ketelitian pengamatan kita dalam menarik kesimpulan
dengan jalan menghindarkan hubungan semu yang bersifat kebetulan.
Terlepas dari
semua itu maka dalam penarikan kesimpulan secara induktif kekeliruan memang
tidak bisa dihindarkan. Dalam kegiatan pengumpulan data kita terpaksa
mendasarkan diri kepada berbagai alat yang pada hakikatnya juga tidak terlepas
dari cacat yang berupa ketidak telitian
dalam pengamatan. Panca indera manusia sendiri tidak sempurna yang bisa mengakibatkan berbagai kesalahan dalam pengamatan kita.
Demikian juga dengan alat-alat yang dipergunakan, semua tak ada yang sempurna.
Penarikan
kesimpulan secara statistik memungkinkan kita untuk melakukan kegiatan ilmiah
secara ekonomis, dimana tanpa statistika hal ini tak mungkin dapat
dilakukan.Karakteristik yang dipunyai statistika ini sering kurang dikenali
dengan baik yang menyebabkan orang sering melupakan pentingnya statistika dalam
penelaahan keilmuan. Secara hakiki statistika mempunyai kedudukan yang sama
dalam penarikan kesimpulan induktif seperti matematika dalam penarikan
kesimpulan secara deduktif.
C. Karakteristik Berpikir Induktif
Kesimpulan yang
didapat dalam berpikir deduktif merupakan suatu hal yang pasti, dimana jika
kita mempercayai premis-premis yang dipakai sebagai landasan penalarannya, maka
kesimpulan penalaran tersebut juga dapat kita percayai kebenarannya sebagaimana
kita mempercayai premis-premis terdahulu.Logika induktif tidak memberikan
kepastian namun sekedar tingkat peluang bahwa untuk premis-premis tertentu
dapat ditarik.
Statistika
merupakan pengetahuan yang memungkinkan untuk menarik kesimpulan secara
induktif berdasarkan peluang tersebut.Dasar dari teori statistika adalah teori
peluang.Teori peluang merupakan cabang dari matematika sedangkan statistika
sendiri merupakan disiplin tersendiri. Menurut bidang pengkajiannya statistika
dapat kita bedakan sebagai statistika teoritis dan statistika terapan.
Statistika teoritis merupakan pengetahuan yang mengkaji dasar-dasar teori
statistika, dimulai dari teori penarikan contoh, distribusi, penaksiran dan
peluang.Statistika terapan merupakan penggunaan statistika teoritis yang
disesuaikan dengan bidang tempat penerapannya.Penguasaan statistika mutlak
diperlukan untuk dapat berpikir ilmiah dengan sah.
BAB
III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Matematika
adalah bahasa yang melambangkan serangkaian makna dari pernyataan yang ingin
kita sampaikan. Lambang-lambang matematika bersifat “artifisial” ( buatan atau
tidak alami) yang baru mempunyai arti setelah sebuah makna
diberikan padanya. Matematika mengembangkan bahasa numerik yang memungkinkan
kita untuk melakukan sesuatu pengukuran secara kuantitatif.Matematika memungkinkan ilmu mengalami
perkembangan dari tahap kualitatif ke kuantitatif.
Statistika adalah logika berpikir secara
induktif, yaitu penarikan kesimpulan setelah dihadapkan kepada sebuah
permasalahan mengenai banyaknya kasus yang harus diamati sampai kepada suatu
kesimpulan yang bersifat umum.Statistika
merupakan pengetahuan yang memungkinkan untuk menarik kesimpulan secara
induktif berdasarkan peluang .Teori peluang merupakan cabang dari matematika sedangkan statistika
sendiri merupakan disiplin tersendiri.Menurut bidang pengkajiannya statistika
dapat kita bedakan sebagai statistika teoritis dan statistika terapan.
DAFTAR
PUSTAKA
Suriasumantri,
Jujun. S. 2010. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan
Minggu, 14 Mei 2017
Makalah Kelompok 8
Makalah Filsafat Ilmu
“BAHASA”
Disusun Oleh :
Kelompok 8
Fachry
Razak (2715163658)
Fitri
Hanifi (2715163203)
Haninah (2715160826)
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
PRODI PENDIDIKAN BAHASA ARAB
Kata Pengantar
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah
SWT. yang telah Memberikan rahmat-Nya yang berupa keimanan, kesehatan dan
keselamatan sehingga kami dapat menyelesaikan susunan makalah yang berjudul “Bahasa di dalam Ilmu Filsafat” . Penulisan ini diajukan guna menyelesaikan
tugas mata kuliah Filsafat Ilmu Program Studi Pendidikan Bahasa Arab
Universitas Negeri Jakarta.
Kami mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang telah membantu sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat
pada waktunya. Makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kami
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah
ini.
Semoga makalah
ini memberikan informasi bagi pembaca, mahasiswa, dan bermanfaat untuk
pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua.
Jakarta, 2 Mei 2016
Daftar Isi
Halaman Judul…………………………………………………………………………………….1
Kata Pengantar…………………………………………………………………………………….2
Daftar Isi…………………………………………………………………………………………..3
BAB 1. Pendahuluan
A.
Latar
Belakang…………………………………………………………………………….4
B.
Rumusan
Masalah…………………………………………………………………………5
C.
Tujuan……………………………………………………………………………………..5
BAB 2 Pembahasan
A.
Pengertian
Bahasa………………………………………………………………….……...6
B.
Fungsi
Bahasa……………………………………………………………………….…….8
C.
Bahasa
Sebagai Berpikir Ilmiah…………………………………………………….……..9
D.
Hubungan
Bahasa dan Filsafat…..………...……………………………………………..11
E.
Beberapa
Kekurangan Bahasa…………………………………………………………...13
BAB 3 Penutup
A.
Kesimpulan………………………………………………………………………………16
Daftar Pustaka…………………………………………………………………………...…….....17
BAB I
Pendahuluan
A.
Latar
Belakang
Kemampuan
berbahasa merupakan ciri khusus pada manusia. Manusia sebagai mahluk sosial,
dalam kehidupannya sudah dapat dipastikan akan berhubungan dengan orang lain
atau bermasyarakat yang memiliki kebutuhan sosial. Kebutuhan sosial adalah
kebutuhan untuk menumbuhkan dan mempertahankan hubungan dengan orang lain dalam
berinteraksi. Contohnya: kita ingin bergabung dan berhubungan dengan orang
lain, kita ingin mengendalikan dan dikendalikan, dan kita ingin mencintai dan
dicintai yang dapat dipenuhi dengan adanya komunikasi.
Manusia dapat
berkomunikasi dengan baik melalui penguasaan dan penggunaan bahasa. Dimana
bahasa merupakan faktor penting dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial,
karena manusia akan selalu membutuhkan orang lain dan tidak bisa hidup sendiri.
Bahasa dijadikan alat untuk menyampaikan, mengekspresikan atau menjelaskan
sesuatu yang dapat dimengerti atau dipahami oleh orang lain. Bahasa yang
digunakan merupakan suatu bukti kegiatan intelektual manusia. Manusia tidak
akan mencapai puncak kedewasaannya sebagai mahluk yang rasional yang dapat
dipisahkan dari keahliannya berbahasa. Sehingga manusia berbahasa sesuai dengan
tingkat pengetahuan dan kemampuannya masing-masing.
Menurut Sunaryo
(2000 : 6), ilmu tanpa adanya bahasa tidak dapat tumbuh dan berkembang. Selain
itu bahasa memiliki kedudukan, fungsi, dan peran ganda, yaitu sebagai akar dan
produk budaya yang sekaligus berfungsi sebagai sarana berpikir dan sarana
pendukung pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tanpa
peran bahasa serupa itu, ilmu tidak akan dapat berkembang. Implikasinya di
dalam pengembangan daya nalar, menjadikan bahasa sebagai prasarana berpikir
modern. Oleh karena itu, jika cermat dalam menggunakan bahasa, kita akan cermat
pula dalam berpikir karena bahasa merupakan cermin dari daya nalar (pikiran). Berdasarkan
uraian di atas, maka penulis tertarik untuk membahas dan memahami bahasa dalam
filsafat ilmu yang akan diuraikan dalam makalah ini dengan judul “Bahasa”.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka kami
merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian bahasa?
2. Apa kurangnya
bahasa?
3. Bagaimana peran
bahasa dalam kehidupan manusia?
4. Bagaimana
hubungan bahasa manusia dengan makhluk hidup lainnya?
5. Bagaimana
hubungan bahasa dengan pengetahuan?
C.
Tujuan
Tujuan
penulisan makalah ini adalah:
1. Mendeskripsikan pengertian bahasa
2. Memaparkan peran penting bahasa dalam kehidupan
manusia
3. Menjelaskan hubungan bahasa manusia dengan
makhluk hidup lainnya
4. Menjelaskan korelasi antara bahasa dengan
pengetahuan
5. Menjelaskan kurangnya peran bahasa dalam
kehidupan sehari-hari
BAB II
Pembahasan
A.
Pengertian Bahasa
Apakah
Sebenarnya Bahasa?
Pertama-tama
bahasa dapat dicirikan sebagai rangkaian bunyi. Dan bunyi adalah alat untuk
berkomunikasi, berkomunikasi itu sendiri bisa digunakan dengan bahasa isyarat
atau yang biasa disebut dengan komunikasi verbal. Seperti mereka yang tidak
dianugerahi kemampuan bersuara harus mempergunakan alat komunikasi yang lain
dan bisa kita lihat pada orang yang bisu. Kedua, bahasa merupakan lambang
dimana rangkaian bunyi membentuk suatu arti tertentu. Rangkaian bunyi yang kita
kenal sebagai kata dilambangkan suatu obyek tertentu, seperti gunung dan seekor
burung merpati. Perkataan gunung dan burung merpati sebenarnya merupakan
lambang yang kita berikan kepada dua obyek tersebut.
Manusia
mengumpulkan lambang-lambang dan penyusunan apa yang kita kenal sebagai perbendaharaan
kata-kata. Perbendaharaan ini pada hakikatnya merupakan akumulasi pengalaman
dan pemikiran mereka. Artinya dengan perbendaharaan kata-kata yang mereka
punyai, maka manusia dapat mengkomunikasikan segenap pengalaman dan pemikiran
mereka. Perkataan “sputnik” atau”laser” belum ada perbendaharaan kata-kata
nenek moyang kita, sebab pemikiran mereka waktu itu belum sampai kesana.
Perkataan ini baru akhir-akhir ini saja melengkapi perbendaharaan kata-kata
kita. Demikian juga degan perkataan “asoy” dan “slebor” perkataan ini muncul
untuk melambangkan satu pengalaman tertentu, yang terutama dialami oleh orang
muda.
Adanya bahasa
ini memungkinkan untuk memikirkan sesuatu dalam benak kepala kita, meskipun
obyek yang sedang kita pikirkan tersebuttidak berada didekat kita kita. Di kamar
kecil kita bisa memikirkan soal aljabar kita atau merencanakan apa yang kita
lakukan setelah nanti kita makan malam.Lain pula dengan binatang, karena mereka
tidak mempunyai bahasa seperti,apa yang kita punyai, maka mereka baru bisa
berpikir jika obyek itu berada di depan matanya.
Jadi dengan
bahasa bukan saja manusia dapat berfikir secara teratur namun juga dapat
mengkomunikasikan apa yang sedang dia pikirkan kepada orang lain. Namun bukan
itu saja, dengan bahasa kita pun dapat mengeskspresikan sikap dan perasaan
kita. Contoh, seorang bayi bila dia sudah kenyang dan hatinya pun sangat
senang, dia mulai membuka suara. Dengan adanya bahasa maka manusia hidup dalam
dunia yakni dunia pengalaman yang nyata dan dunia simbolik yang dinyatakan
dengan bahasa. Bila binatang hidup menurut naluri mereka, dan hidup dari waktu
ke waktu berdasarkan fluktuasi biologis dan fisiologis mereka, maka manusia
mencoba menguasai semuanya.
Bahasa dibentuk oleh kaidah aturan serta pola
yang tidak boleh dilanggar agar tidak menyebabkan gangguan pada komunikasi yang
terjadi. Kaidah, aturan dan pola-pola yang dibentuk mencakup tata bunyi, tata
bentuk dan tata kalimat. Agar komunikasi yang dilakukan berjalan lancar dengan
baik, penerima dan pengirim bahasa harus harus menguasai bahasanya.
Bahasa adalah sistem lambang bunyi ujaran yang
digunakan untuk berkomunikasi oleh masyarakat pemakainya. Bahasa yang baik
berkembang berdasarkan suatu sistem, yaitu seperangkat aturan yang dipatuhi
oleh pemakainya. Bahasa sendiri berfungsi sebagai sarana komunikasi serta
sebagai sarana integrasi dan adaptasi.
Berikut ini
adalah pengertian dan definisi bahasa menurut para ahli:
1.
Menurut Wittgenstein, bahasa merupakan bentuk
pemikiran yang dapat dipahami, berhubungan dengan realitas, dan memiliki bentuk
dan struktur yang logis
2.
Ferdinand De Saussure, bahasa adalah ciri
pembeda yang paling menonjol karena dengan bahasa setiap kelompok sosial merasa
dirinya sebagai kesatuan yang berbeda dari kelompok yang lain
3.
Plato, bahasa pada dasarnya adalah pernyataan
pikiran seseorang dengan perantaraan onomata (nama benda atau sesuatu) dan
rhemata (ucapan) yang merupakan cermin dari ide seseorang dalam arus udara
lewat mulut
4.
Carrol, bahasa adalah sebuah sistem
berstruktural mengenai bunyi dan urutan bunyi bahasa yang sifatnya manasuka,
yang digunakan, atau yang dapat digunakan dalam komunikasi antar individu oleh
sekelompok manusia dan yang secara agak tuntas memberi nama kepada benda-benda,
peristiwa-peristiwa, dan proses-proses dalam lingkungan hidup manusia.
Sehingga dari uraian diatas, dapat disimpulkan
bahasa adalah alat untuk berinteraksi atau alat untuk berkomunikasi, dalam arti
alat untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep atau perasaan.
B.
Fungsi Bahasa
Para pakar telah berselisih pendapat dalam hal
fungsi bahasa. Aliran filsafat bahasa dan psikolinguistik melihat fungsi bahasa
sebagai sarana untuk menyampaikan pikiran, perasaan dan emosi, sedangkan aliran
sosiolinguistik berpendapat bahwa fungsi bahasa adalah sarana untuk perubahan
masyarakat.
Walaupun tampak perbedaan tetapi saling
melengkapi. Secara umum dapat dinyatakan bahwa fungsi bahasa adalah:
1)
Koordinator kegiatan-kegiatan masyarakat.
2)
Penetapan pemikiran dan pengungkapan.
3)
Penyampaian pikiran dan perasaan.
4)
Penyenangan jiwa.
5)
Pengurangan kegoncangan jiwa.
Menurut Halliday sebagaimana yang dikutip oleh
Thaimah bahwa fungsi bahasa adalah sebagai berikut:
·
Fungsi Instrumental: penggunaan bahasa untuk
mencapai suatu hal yang bersifat materi seperti makan, minum dan
sebagainya.
·
Fungsi Regulatoris: penggunaan bahasa untuk
memerintah dan perbaikan tingkah laku.
·
Fungsi Interaksional: penggunaan bahasa untuk
saling mencurahkan perasaan pemikiran antara seseorang dan orang lain.
·
Fungsi Personal : seseorang mengunakan bahasa
untuk mencurahkan perasaan dan pikiran.
·
Fungsi Heuristik: penggunaan bahasa untuk
mencapai mengungkap tabir fenomena dan keinginan untuk mempelajarinya.
·
Fungsi Imajinatif: penggunaan bahasa untuk
mengungkapkan imajinasi seseorang dan gambaran-gambaran tentang discovery
seseorang dan tidak sesuai dengan realita (dunia nyata).
·
Fungsi Representasional: penggunaan bahasa
untuk menggambarkan pemikiran dan wawasan serta menyampaikannya pada orang
lain.
Kneller mengemukakan 3 fungsi bahasa yaitu
simbolik, emotif dan afektif. Fungsi simbolik dan emotif menonjol dalam
komunikasi ilmiah, sedangkan fungsi afektif menonjol dalam komunikasi estetik.
Sedangkan Buhler membedakan fungsi bahasa
kedalam bahasa ekspresif, bahasa konatif, dan bahasa representasional. Bahasa
ekspresif yaitu bahasa yang terarah pada diri sendiri yakni si pembicara;
bahasa konatif yaitu bahasa yang terarah pada lawan bicara; dan bahasa
representasional yaitu bahasa yang terarah pada kenyataan lainnya, yaitu apa
saja selain pembicara atau lawan bicara.
C.
Bahasa sebagai
Sarana Berpikir Ilmiah
Ada dua hal yang harus diperhatikan masalah
sarana ilmiah, yaitu pertama, sarana ilmiah itu merupakan ilmu dalam pengertian
bahwa ia merupakan kumpulan pengetahuan yang didapatkan berdasarkan metode
ilmiah, seperti menggunakan pola berpikir induktif dan deduktif dalam
mendapatkan pengetahuan. Kedua, tujuan mempelajari sarana ilmiah adalah agar
dapat melakukan penelaahan ilmiah secara baik.
Bahasa sebagai alat komunikasi verbal yang
digunakan dalam proses berpikir ilmiah dimana bahasa merupakan alat berpikir
dan alat komunikasi untuk menyampaikan jalan pikiran tersebut kepada orang
lain, baik pikiran yang berlandaskan logika induktif maupun deduktif. Dengan
kata lain, kegiatan berpikir imiah ini sangat berkaitan erat dengan bahasa.
Menggunakan bahasa yang baik dalam berpikir belum tentu mendapatkan kesimpulan
yang benar apalagi dengan bahasa yang tidak baik dan benar. Premis yang salah
akan menghasilkan kesimpulan yang salah juga. Semua itu tidak terlepas dari
fungsi bahasa itu sendiri sebagai sarana berpikir.
Berpikir ilmiah, dan
kegiatan-kegiatan ilmiah lainnya yang lebih luas, bertujuan memperoleh
pengetahuan yang benar atau pengetahuan ilmiah. Untuk mencapai tujuan tersebut,
kita manusia jelas memerlukan sarana atau alat berpikir ilmiah. Sarana ini
bersifat niscaya, maka aktivitas keilmuan tidak akan maksimal tanpa sarana
berpikir ilmiah tersebut.
Sarana berpikir ilmiah
merupakan alat bagi langkah-langkah (metode) ilmiah, atau membantu langkah-langkah
ilmiah, untuk mendapatkan kebenaran. Dengan perkataan lain, sarana berpikir
ilmiah memungkinkan kita melakukan penelaahan ilmiah dengan baik, teratur dan
cermat. Oleh karena itu, agar ilmuwan dapat bekerja dengan baik, dia mesti
menguasai sarana berpikir ilmiah.
Ada tiga sarana berpikir
ilmiah, yakni bahasa, matematika, dan statistika. Bahasa, dalam konteks ini,
memungkinkan manusia berpikir secara abstrak, sistematis, teratur dan
terus-menerus dan menguasai pengetahuan. Dengan bahasa, manusia—berbeda dari
binatang—bisa memikirkan dan membicarakan objek-objek yang tidak berada di
depan matanya. Kehidupan dunia yang kompleks dibahasakan dalam
penyataan-pernyataan yang sederhana dan bisa dimengerti. Bahasa pun menjadikan
kita dapat mengomunikasikan pengetahuan kepada orang lain.
Ringkasnya, bahasa
membantu ilmuwan berpikir ilmiah, yaitu berpikir induktif dan deduktif. Dengan
perkataan lain, bahasa menjadi alat baginya untuk menarik kesimpulan-kesimpulan
induktif maupun deduktif. Bahasa memungkinkan ilmuwan melaksanakan silogisme
dan menarik kesimpulan atau pengetahuan ilmiah.
·
Ciri-ciri Bahasa Ilmiah
Dalam komunikasi ilmiah,
tentu yang dipakai adalah bahasa ilmiah, lisan maupun tulisan. Bahasa ilmiah
berbeda dengan bahasa sastra, bahasa agama, bahasa percakapan sehari-hari, dan
ragam bahasa lainnya. Bahasa ilmiah memiliki
ciri-ciri tersendiri, yaitu informatif, reproduktif atau intersubjektif, dan
antiseptik. Informatif berarti bahwa bahasa ilmiah mengungkapan informasi
atau pengetahuan. Informasi atau pengetahuan ini dinyatakan secara eksplisit
dan jelas untuk menghindari kesalahpahaman.
Maksud ciri reproduktif
adalah bahwa pembicara atau penulis menyampaikan informasi yang sama dengan
informasi yang diterima oleh pendengar atau pembacanya. Menurut Kemeny,
antiseptik berarti bahwa bahasa ilmiah itu objektif dan tidak memuat unsur
emotif, kendatipun pada kenyataannya unsur emotif ini sulit dilepaskan dari
unsur informatif.
Slamet Iman Santoso dalam
Jujun S. Suriasumantri (199:227) mengimbuhkan bahwa bahasa ilmiah itu
bersifat deskriptif (descriptive language). Artinya, bahasa ilmiah menjelaskan
fakta dan pemikiran; dan pernyataan-pernyataan dalam bahasa ilmiah bisa diuji
benar-salahnya. Beerling, Kwee, Mooij, Van Peursen (1990:123) menambahkan ciri
intersubjektif, yaitu ungkapan-ungkapan yang dipakai mengandung makna-makna
yang sama bagi para pemakainya.
D.
Hubungan
Bahasa Dengan Filsafat
Sebagaimana telah dijelaskan,
bahwa di antara fungsi bahasa ialah sebagai alat untuk mengkomunikasikan suatu
gagasan kepada orang lain. Setiap gagasan yang dihasilkan seseorang tidak akan
diketahui oleh khalayak manakalah tidak dikomunikasikan melalui bahasa.
Bahasa tidak saja sebagai alat
komunikasi untuk mengantarkan proses hubungan antarmanusia, tetapi jangan lupa,
bahasa pun mampu mengubah seluruh kehidupan manusia. Artinya, bahwa bahasa
merupakan aspek terpenting dari kehidupan manusia. Sekelompok manusia atau
bangsa yang hidup dalam kurun waktu tertentu tidak akan bisa bertahan jika
dalam bangsa teresbut tidak ada bahasa. Kearifan
melayu mengatakan : “bahasa adalah cermin budaya bangsa, hilang budaya maka
hilang bangsa”. Jadi bahasa dalah sine qua non, suatu yang mesti ada bagi
kebudayaan dan masyarakat manusia.
Karena
itu, siapa pun orang akan senantiasa melakukan relasi yang erat dengan bahasa.
Seorang filosofi, misalnya, ia akan senantiasa bergantung kepada bahasa. Fakta
telah menunjukkan bahwa ungkapan pikiran dan hasil-hasil perenungan filosofis
seseorang tidak dapat dilakukan tanpa bahasa. Bagaimanapun alat paling utama
dari filsafat adalah bahasa. Tanpa bahasa, seorang filosof (ahli filsafat)
tidak mungkin bisa mengungkapkan perenungan kefilsafatannya kepada orang lain.
Tanpa bantuan bahasa, seseorang tidak akan mengerti tentang buah pikiran
kefilsafatan.
Louis o. Katsooff berpendapat
bahawa suatu system filsafat sebenarnya dalam arti tertentu dapat dipandang
sebagai suatu bahasa, dan perenungan kefilsafatan dapat dipandang sebagai suatu
upaya penyusunan bahasa tersebut. Karena
itu filsafat dan bahasa senantiasa akan beriringan, tidak dapat dipisahkan satu
sama lain. Ia bagaikan gula dengan manisnya. Keduanya memiliki cinta yang
sejati, sebuah cinta yang tidak mengetengahkan dimiliki dan memiliki. Hal ini
karena bahasa pada hakikatnya merupakan sistem symbol-simbol. Sedangkan tugas
filsafat yang utama adalah mencari jawab dan makna dari seluruh symbol yang
menampakkan diri di alam semesta ini. Bahasa juga adalah alat untuk membongkar
seluruh rahasia symbol-simbol tersebut.
Dari uraian di atas, maka
jelaslah bahwa bahasa dan filsafat memiliki hubungan atau relasi yang sangat
erat, dan sekaligus merupakan hokum kausalitas (sebab musabbab dan akibat) yang
tidak dapat ditolak kehadirannya. Sebab itulah seorang filosof (ahli filsafat),
baik secara langsung maupun tidak, akan senantiasa menjadikan bahasa sebagai
sahabat akrabnya yang tidak akan terpisahkan oleh siapa pun dan dalam kondisi
bagaimanapun. Bahkan akhir-akhir ini
“bahasa” telah dijadikan sebagai objek yang sangat menarik bagi perenungan,
pembahasan dan penelitian dunia filsafat. Hal ini selain bahasa memiliki daya
tarik tersendiri untuk dijadikan objek penelitian filsafat, ia juga memiliki
kelemahan-kelemahan tertentu sehubungan dengan fungsi dan perannya yang begitu
luas dan kompleks. Salah satu kelemahannya yaitu tidak mengetahui dirinya secara
tuntas dan sempurna, sebagaimana mata tidak dapat melihat dirinya sendiri.
Realitas
semacam itulah, barangkali yang mendorong para filosof dari tradisi realisme di
inggris mengalihkan orientasi kajian kefilsafatannya pada analisis bahasa
seperti yang telah dilakukan oleh george more (1873-1958), bertrand russel
(1872-1970), ludwig wittgenstein (1889-1951), alfref ayer (1910- ), dan yang
lainnya. Dalam perkembangan selanjutnya, kelompok ini sering dikelompokkan
sebagai aliran baru dalam filsafat, yaitu aliran filsafat analisis bahasa atau
filsafat analitis.
Sebagaimana
dijelaskan bahwa filsafat bahasa bahasa adalah pengetahuan dan penyelidikan
dengan akal budi mengenai hakikat bahasa, sebab, asal, dan hukumnya. Hubungan
bahasa dengan filsafat telah lama menjadi perhatian para filsuf bahkan sejak
zaman yunani. Para filsuf mengetahui bahwa berbagai macam problem filsafat
dapat dijelaskan melalui suatu analisis bahasa.
E.
Beberapa
Kekurangan Bahasa
Sebagai sarana komunikasi ilmiah maka bahasa
mempunyai kekurangan. Kekurangan ini pada hakikatnya terletak pada peranan
bahasa itu sendiri yang bersifat multifungsi yakni sebagai sarana komunikasi
emotif, afektif, dan simbolik. Dalam komunikasi ilmiah kita ingin menggunakan
aspek simbolik saja dari ketiga fungsi tersebut tadi dimana kita
mengkomunikasikan informasi tanpa kaitan emotif dalam afektif. Dalam kenyataan
hal ini tidak mungkin: bahasa verbal mau tidak mau mengandung ketiga unsur yang bersifat emotif, afektif, dan simbolik
tadi.
Karena
fungsi dan peranan bahasa begitu luas dan kompleks bagi kehidupan umat manusia,
maka kita akan diperhadapkan pada kesulitan yang sangat berarti mengenai
bahasa. Kesulitan itu ialah, bahasa bahasa dalam realitasnya memiliki
kelemahan-kelamahan. Kelemahan-kelamahan itu ditimbulkan oleh si pemakai bahasa
atau kelemahan yang timbul dari diri bahasa itu sendiri. Diantara
kelemahan-kelemahan dari bahasa itu akan diurai dalam pembahasan berikut ini :
Pertama,
bahasa sebagai suatu system symbol ternyata tidak dapat mengungkap seluruh
realitas yang ada di dunia ini. Ketidakmampuannya itu karena realitas-realitas
itu pada dasarnya merupakan symbol-simbol yang mesti diberi makna. Juga seperti
yang diungkapkan wittgenstein, bahwa karena bahasa merupakan gambar dunia,
subjek yang menggunakan bahasa tidak termasuk menggambarkan dunia. Seperti mata
tidak dapat diarahkan kepada dirinya sendiri, demikian juga subjek yang
menggunakan bahasa tidak dapat mengarahkan bahasa kepada dirinya sendiri.
Kedua,
bahasa ketika digunakan oleh pengguna bahasa seringkali memiliki kecendrungan
emosional dan tidak terarah. Meskipun bahasa digunakan dalam konteks ilmiah.
Kita sering mengemukakan kata-kata (bahasa) yang digunakan dalam perdebatan
ilmiah kurang mengandung arti yang pasti dan rasional yang dapat berakibat
timbulnya tidak masuk akal, terutama apabila suatu argument tergantung pada
rangsang emosi dan tidak memberikan informasi yang logis.
Ketiga,
sering dijumpai ungkapan-ungkapan bahasa dimanipulasi demi
kepentingan-kepentingan tertentu, seperti kepentingan kampanye politik, ras,
suku, doktrin ajaran tertentu, dan lain-lain. Dalam ilmu bahasa peristiwa itu
lazim disebut dengan istilah “eufemisme” bahasa, yaitu ungkapan yang lebih luas
sebagai pengganti yang dirasakan kasar, yang dianggap merugikan atau tidak
menyenangkan, misalnya kata “meninggal dunia” untuk mati, wanita untuk
“perempuan”, ”kupu-kupu malam” untuk “wanita pelacur”, dan “tuna wisma” untuk
orang yang tidak memiliki tempat tinggal.
Keempat,
suatu ungkapan bahasa sering dijumpai menibulkan arti ganda, karena tidak semua
ungkapan bahasa mampu melukiskan satu arti. Kegandaan arti tersebut biasanya
ditimbulkan oleh istilah-istilah yang goyah atau lemah rumusan atau masalahnya.
Kelima,
ungkapan bahasa sering juga menimbulkan banyak arti atau arti yang sama.
Penggunaan istilah untuk lebih dari satu arti, sementara kesan yang diberikan
untuk mengatakan hanya satu arti yang sama dalam perdebatan. Kekeliruan atau
kelemahan tadi adalah akibat dari anggapan yang salah bahwa kata itu digunakan
sepanjang diskusi tertnetu untuk memberikan arti yang tunggal.
Keenam,
bahasa tidak selamanya mampu memberikan respon, seperti selama ini dianggap
sebagian besar orang bahwa ungkapan-ungkapan bahasa yang dilontarkan akan
senantiasa memebrikan respons sesuai dengan keinginan si pemakai. Tetapi dalam
kenyataannya sering uangkapan-ungkapan bahasayang dilontarkan oleh si pemakai
tidak memberikan respons sebagaimana yang diinginkan. Seorang perjaka,
misalnya, ia menegur seorang gadis cantik yang selama ini ia idam-idamkan.
Tetapi karena kgadis terebut tidak mencintainya, maka teguran dan sapaan tidak
direspons sesuai dengan yang diharapkan. Bagi si perjaka mungkin sapaan
tersebut merupakan ungkapan rasa cinta, tapi bagi si gadis ungkapan itu dianggap
teguran biasa disamping jalan.
Ketujuh, anggapan bahwa setiap
ide yang akan diungkapkan oleh pemakai bahasa itu ada kata atau istilah yang
tersedia. Mereka yang
berpandangan seperti ini, mengidentifikasikan arti sebuah istilah atau
ungkangapn dengan ide-ide yang menimbulkan dan juga ditimbulkan oleh ungkapan
atau istilah tersebut. Padahal dalam ungkapan sehari-hari kita sering menjumpai
ungkapan-ungkapan atau kata-kata yang tidak ditimbulkan oleh ide apapun.
Misalnya, ungkapan penghubung “yang”, ungkapa pengandaian “jika” “dan yang
lainnya (kata-kata semacam itu dinamakan syntegorematic), yaitu kata-kata yang
tidak dapat dikatakan timbul ole hide-ide tertentu.
Kedelapan,
banyak orang yang beranggapan bahwa setiap kata yang diungkapkan itu me-refer
atau mengacu kepada suatu objek yang konkrit, empiris, dan dapat dibuktikan
secara empiric. Padahal banyak kata-kata yang dijumpai dalam kehidupan kita
sehari-hari yang tidak mengacu kepada objek yang konkrit ada di dunia.
Misalnya, ungkapan kata “al- jannah” (surga) dan “al-nar” (neraka) yang diambil
dari untaian firman tuhan dalam kitab suci. Kata-kata ini susah untuk
dibuktikan sebagai sesuatu ungkapan yang mengacu kepada dunia konkri. Bahkan
mungkin untuk sebagian orang yang tidak mempercayainya ungkapan-ungkapan itu
hanyalah ungkapan kosong yang tidak mengandung makna apapun.
BAB III
Penutup
A.
Kesimpulan
1.
Bahasa sebagai alat komunikasi bagi manusia
memiliki keteraturan. Keteraturan bahasa ini dapat dipelajarai dalam ilmu
bahasa atau linguistik.
2.
Bahasa adalah alat untuk berinteraksi atau alat
untuk berkomunikasi, dalam arti alat untuk menyampaikan pikiran, gagasan,
konsep atau perasaan.
3.
Bahasa sebagai sarana berpikir ilmiah, yaitu
ada dua hal yang harus diperhatikan masalah sarana ilmiah, yaitu pertama,
sarana ilmiah itu merupakan ilmu dalam pengertian bahwa ia merupakan kumpulan
pengetahuan yang didapatkan berdasarkan metode ilmiah, seperti menggunakan pola
berpikir induktif dan deduktif dalam mendapatkan pengetahuan. Kedua, tujuan
mempelajari sarana ilmiah adalah agar dapat melakukan penelaahan ilmiah secara
baik
4.
Bahasa dan filsafat memiliki hubungan atau
relasi yang sangat erat, dan sekaligus merupakan hokum kausalitas (sebab
musabbab dan akibat) yang tidak dapat ditolak kehadirannya
5.
Kekurangan bahasa pada hakikatnya terletak pada
peranan bahasa itu sendiri yang bersifat multifungsi yakni sebagai sarana
komunikasi emotif, afektif, dan simbolik.
Daftar
Pusaka
3. Jujun S.,
Filsafat Ilmu. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2009.
Langganan:
Postingan (Atom)