Minggu, 14 Mei 2017

Makalah Kelompok 8


Makalah Filsafat Ilmu
“BAHASA”


  
  
Disusun Oleh :
Kelompok 8

Fachry Razak  (2715163658)
Fitri Hanifi      (2715163203)
Haninah           (2715160826)


UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
PRODI PENDIDIKAN BAHASA ARAB






Kata Pengantar

            Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. yang telah Memberikan rahmat-Nya yang berupa keimanan, kesehatan dan keselamatan sehingga kami dapat menyelesaikan susunan makalah yang berjudul “Bahasa di dalam Ilmu Filsafat” . Penulisan ini diajukan guna menyelesaikan tugas mata kuliah Filsafat Ilmu Program Studi Pendidikan Bahasa Arab Universitas Negeri Jakarta.
      Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini memberikan informasi bagi pembaca, mahasiswa, dan bermanfaat untuk pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua.



Jakarta, 2 Mei 2016





                                                                                               
           
           
Daftar Isi

Halaman Judul…………………………………………………………………………………….1
Kata Pengantar…………………………………………………………………………………….2
Daftar Isi…………………………………………………………………………………………..3
BAB 1. Pendahuluan
A.    Latar Belakang…………………………………………………………………………….4
B.     Rumusan Masalah…………………………………………………………………………5
C.     Tujuan……………………………………………………………………………………..5
BAB 2 Pembahasan
A.    Pengertian Bahasa………………………………………………………………….……...6
B.     Fungsi Bahasa……………………………………………………………………….…….8
C.     Bahasa Sebagai Berpikir Ilmiah…………………………………………………….……..9
D.    Hubungan Bahasa dan Filsafat…..………...……………………………………………..11
E.     Beberapa Kekurangan Bahasa…………………………………………………………...13
BAB 3 Penutup
A.    Kesimpulan………………………………………………………………………………16
Daftar Pustaka…………………………………………………………………………...…….....17









BAB I
Pendahuluan

A.    Latar Belakang
            Kemampuan berbahasa merupakan ciri khusus pada manusia. Manusia sebagai mahluk sosial, dalam kehidupannya sudah dapat dipastikan akan berhubungan dengan orang lain atau bermasyarakat yang memiliki kebutuhan sosial. Kebutuhan sosial adalah kebutuhan untuk menumbuhkan dan mempertahankan hubungan dengan orang lain dalam berinteraksi. Contohnya: kita ingin bergabung dan berhubungan dengan orang lain, kita ingin mengendalikan dan dikendalikan, dan kita ingin mencintai dan dicintai yang dapat dipenuhi dengan adanya komunikasi.
Manusia dapat berkomunikasi dengan baik melalui penguasaan dan penggunaan bahasa. Dimana bahasa merupakan faktor penting dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial, karena manusia akan selalu membutuhkan orang lain dan tidak bisa hidup sendiri. Bahasa dijadikan alat untuk menyampaikan, mengekspresikan atau menjelaskan sesuatu yang dapat dimengerti atau dipahami oleh orang lain. Bahasa yang digunakan merupakan suatu bukti kegiatan intelektual manusia. Manusia tidak akan mencapai puncak kedewasaannya sebagai mahluk yang rasional yang dapat dipisahkan dari keahliannya berbahasa. Sehingga manusia berbahasa sesuai dengan tingkat pengetahuan dan kemampuannya masing-masing.
Menurut Sunaryo (2000 : 6), ilmu tanpa adanya bahasa tidak dapat tumbuh dan berkembang. Selain itu bahasa memiliki kedudukan, fungsi, dan peran ganda, yaitu sebagai akar dan produk budaya yang sekaligus berfungsi sebagai sarana berpikir dan sarana pendukung pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tanpa peran bahasa serupa itu, ilmu tidak akan dapat berkembang. Implikasinya di dalam pengembangan daya nalar, menjadikan bahasa sebagai prasarana berpikir modern. Oleh karena itu, jika cermat dalam menggunakan bahasa, kita akan cermat pula dalam berpikir karena bahasa merupakan cermin dari daya nalar (pikiran). Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk membahas dan memahami bahasa dalam filsafat ilmu yang akan diuraikan dalam makalah ini dengan judul “Bahasa”.
B.     Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka kami merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian bahasa?
2. Apa kurangnya bahasa?
3. Bagaimana peran bahasa dalam kehidupan manusia?
4. Bagaimana hubungan bahasa manusia dengan makhluk hidup lainnya?
5. Bagaimana hubungan bahasa dengan pengetahuan?
C.     Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah:

1. Mendeskripsikan pengertian bahasa
2. Memaparkan peran penting bahasa dalam kehidupan manusia
3. Menjelaskan hubungan bahasa manusia dengan makhluk hidup lainnya
4. Menjelaskan korelasi antara bahasa dengan pengetahuan
5. Menjelaskan kurangnya peran bahasa dalam kehidupan sehari-hari




BAB II
Pembahasan

A.    Pengertian Bahasa
            Apakah Sebenarnya Bahasa?
            Pertama-tama bahasa dapat dicirikan sebagai rangkaian bunyi. Dan bunyi adalah alat untuk berkomunikasi, berkomunikasi itu sendiri bisa digunakan dengan bahasa isyarat atau yang biasa disebut dengan komunikasi verbal. Seperti mereka yang tidak dianugerahi kemampuan bersuara harus mempergunakan alat komunikasi yang lain dan bisa kita lihat pada orang yang bisu. Kedua, bahasa merupakan lambang dimana rangkaian bunyi membentuk suatu arti tertentu. Rangkaian bunyi yang kita kenal sebagai kata dilambangkan suatu obyek tertentu, seperti gunung dan seekor burung merpati. Perkataan gunung dan burung merpati sebenarnya merupakan lambang yang kita berikan kepada dua obyek tersebut.
            Manusia mengumpulkan lambang-lambang dan penyusunan apa yang kita kenal sebagai perbendaharaan kata-kata. Perbendaharaan ini pada hakikatnya merupakan akumulasi pengalaman dan pemikiran mereka. Artinya dengan perbendaharaan kata-kata yang mereka punyai, maka manusia dapat mengkomunikasikan segenap pengalaman dan pemikiran mereka. Perkataan “sputnik” atau”laser” belum ada perbendaharaan kata-kata nenek moyang kita, sebab pemikiran mereka waktu itu belum sampai kesana. Perkataan ini baru akhir-akhir ini saja melengkapi perbendaharaan kata-kata kita. Demikian juga degan perkataan “asoy” dan “slebor” perkataan ini muncul untuk melambangkan satu pengalaman tertentu, yang terutama dialami oleh orang muda.
Adanya bahasa ini memungkinkan untuk memikirkan sesuatu dalam benak kepala kita, meskipun obyek yang sedang kita pikirkan tersebuttidak berada didekat kita kita. Di kamar kecil kita bisa memikirkan soal aljabar kita atau merencanakan apa yang kita lakukan setelah nanti kita makan malam.Lain pula dengan binatang, karena mereka tidak mempunyai bahasa seperti,apa yang kita punyai, maka mereka baru bisa berpikir jika obyek itu berada di depan matanya.
Jadi dengan bahasa bukan saja manusia dapat berfikir secara teratur namun juga dapat mengkomunikasikan apa yang sedang dia pikirkan kepada orang lain. Namun bukan itu saja, dengan bahasa kita pun dapat mengeskspresikan sikap dan perasaan kita. Contoh, seorang bayi bila dia sudah kenyang dan hatinya pun sangat senang, dia mulai membuka suara. Dengan adanya bahasa maka manusia hidup dalam dunia yakni dunia pengalaman yang nyata dan dunia simbolik yang dinyatakan dengan bahasa. Bila binatang hidup menurut naluri mereka, dan hidup dari waktu ke waktu berdasarkan fluktuasi biologis dan fisiologis mereka, maka manusia mencoba menguasai semuanya.
Bahasa dibentuk oleh kaidah aturan serta pola yang tidak boleh dilanggar agar tidak menyebabkan gangguan pada komunikasi yang terjadi. Kaidah, aturan dan pola-pola yang dibentuk mencakup tata bunyi, tata bentuk dan tata kalimat. Agar komunikasi yang dilakukan berjalan lancar dengan baik, penerima dan pengirim bahasa harus harus menguasai bahasanya.
Bahasa adalah sistem lambang bunyi ujaran yang digunakan untuk berkomunikasi oleh masyarakat pemakainya. Bahasa yang baik berkembang berdasarkan suatu sistem, yaitu seperangkat aturan yang dipatuhi oleh pemakainya. Bahasa sendiri berfungsi sebagai sarana komunikasi serta sebagai sarana integrasi dan adaptasi.
Berikut ini adalah pengertian dan definisi bahasa menurut para ahli:
1.      Menurut Wittgenstein, bahasa merupakan bentuk pemikiran yang dapat dipahami, berhubungan dengan realitas, dan memiliki bentuk dan struktur yang logis

2.      Ferdinand De Saussure, bahasa adalah ciri pembeda yang paling menonjol karena dengan bahasa setiap kelompok sosial merasa dirinya sebagai kesatuan yang berbeda dari kelompok yang lain

3.      Plato, bahasa pada dasarnya adalah pernyataan pikiran seseorang dengan perantaraan onomata (nama benda atau sesuatu) dan rhemata (ucapan) yang merupakan cermin dari ide seseorang dalam arus udara lewat mulut

4.      Carrol, bahasa adalah sebuah sistem berstruktural mengenai bunyi dan urutan bunyi bahasa yang sifatnya manasuka, yang digunakan, atau yang dapat digunakan dalam komunikasi antar individu oleh sekelompok manusia dan yang secara agak tuntas memberi nama kepada benda-benda, peristiwa-peristiwa, dan proses-proses dalam lingkungan hidup manusia.

Sehingga dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahasa adalah alat untuk berinteraksi atau alat untuk berkomunikasi, dalam arti alat untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep atau perasaan.
B.     Fungsi Bahasa
Para pakar telah berselisih pendapat dalam hal fungsi bahasa. Aliran filsafat bahasa dan psikolinguistik melihat fungsi bahasa sebagai sarana untuk menyampaikan pikiran, perasaan dan emosi, sedangkan aliran sosiolinguistik berpendapat bahwa fungsi bahasa adalah sarana untuk perubahan masyarakat.
Walaupun tampak perbedaan tetapi saling melengkapi. Secara umum dapat dinyatakan bahwa fungsi bahasa adalah:
1)        Koordinator kegiatan-kegiatan masyarakat.
2)        Penetapan pemikiran dan pengungkapan.
3)        Penyampaian pikiran dan perasaan.
4)        Penyenangan jiwa.
5)        Pengurangan kegoncangan jiwa.
Menurut Halliday sebagaimana yang dikutip oleh Thaimah bahwa fungsi bahasa adalah sebagai berikut:
·         Fungsi Instrumental: penggunaan bahasa untuk mencapai suatu hal yang bersifat materi seperti makan, minum dan sebagainya.
·         Fungsi Regulatoris: penggunaan bahasa untuk memerintah dan perbaikan tingkah laku.
·         Fungsi Interaksional: penggunaan bahasa untuk saling mencurahkan perasaan pemikiran antara seseorang dan orang lain.
·         Fungsi Personal : seseorang mengunakan bahasa untuk mencurahkan perasaan dan pikiran.
·         Fungsi Heuristik: penggunaan bahasa untuk mencapai mengungkap tabir fenomena dan keinginan untuk mempelajarinya.
·         Fungsi Imajinatif: penggunaan bahasa untuk mengungkapkan imajinasi seseorang dan gambaran-gambaran tentang discovery seseorang dan tidak sesuai dengan realita (dunia nyata).
·         Fungsi Representasional: penggunaan bahasa untuk menggambarkan pemikiran dan wawasan serta menyampaikannya pada orang lain.
Kneller mengemukakan 3 fungsi bahasa yaitu simbolik, emotif dan afektif. Fungsi simbolik dan emotif menonjol dalam komunikasi ilmiah, sedangkan fungsi afektif menonjol dalam komunikasi estetik.
Sedangkan Buhler membedakan fungsi bahasa kedalam bahasa ekspresif, bahasa konatif, dan bahasa representasional. Bahasa ekspresif yaitu bahasa yang terarah pada diri sendiri yakni si pembicara; bahasa konatif yaitu bahasa yang terarah pada lawan bicara; dan bahasa representasional yaitu bahasa yang terarah pada kenyataan lainnya, yaitu apa saja selain pembicara atau lawan bicara.

C.    Bahasa sebagai Sarana Berpikir Ilmiah
Ada dua hal yang harus diperhatikan masalah sarana ilmiah, yaitu pertama, sarana ilmiah itu merupakan ilmu dalam pengertian bahwa ia merupakan kumpulan pengetahuan yang didapatkan berdasarkan metode ilmiah, seperti menggunakan pola berpikir induktif dan deduktif dalam mendapatkan pengetahuan. Kedua, tujuan mempelajari sarana ilmiah adalah agar dapat melakukan penelaahan ilmiah secara baik.
Bahasa sebagai alat komunikasi verbal yang digunakan dalam proses berpikir ilmiah dimana bahasa merupakan alat berpikir dan alat komunikasi untuk menyampaikan jalan pikiran tersebut kepada orang lain, baik pikiran yang berlandaskan logika induktif maupun deduktif. Dengan kata lain, kegiatan berpikir imiah ini sangat berkaitan erat dengan bahasa. Menggunakan bahasa yang baik dalam berpikir belum tentu mendapatkan kesimpulan yang benar apalagi dengan bahasa yang tidak baik dan benar. Premis yang salah akan menghasilkan kesimpulan yang salah juga. Semua itu tidak terlepas dari fungsi bahasa itu sendiri sebagai sarana berpikir.
Berpikir ilmiah, dan kegiatan-kegiatan ilmiah lainnya yang lebih luas, bertujuan memperoleh pengetahuan yang benar atau pengetahuan ilmiah. Untuk mencapai tujuan tersebut, kita manusia jelas memerlukan sarana atau alat berpikir ilmiah. Sarana ini bersifat niscaya, maka aktivitas keilmuan tidak akan maksimal tanpa sarana berpikir ilmiah tersebut.

Sarana berpikir ilmiah merupakan alat bagi langkah-langkah (metode) ilmiah, atau membantu langkah-langkah ilmiah, untuk mendapatkan kebenaran. Dengan perkataan lain, sarana berpikir ilmiah memungkinkan kita melakukan penelaahan ilmiah dengan baik, teratur dan cermat. Oleh karena itu, agar ilmuwan dapat bekerja dengan baik, dia mesti menguasai sarana berpikir ilmiah.

Ada tiga sarana berpikir ilmiah, yakni bahasa, matematika, dan statistika. Bahasa, dalam konteks ini, memungkinkan manusia berpikir secara abstrak, sistematis, teratur dan terus-menerus dan menguasai pengetahuan. Dengan bahasa, manusia—berbeda dari binatang—bisa memikirkan dan membicarakan objek-objek yang tidak berada di depan matanya. Kehidupan dunia yang kompleks dibahasakan dalam penyataan-pernyataan yang sederhana dan bisa dimengerti. Bahasa pun menjadikan kita dapat mengomunikasikan pengetahuan kepada orang lain.

Ringkasnya, bahasa membantu ilmuwan berpikir ilmiah, yaitu berpikir induktif dan deduktif. Dengan perkataan lain, bahasa menjadi alat baginya untuk menarik kesimpulan-kesimpulan induktif maupun deduktif. Bahasa memungkinkan ilmuwan melaksanakan silogisme dan menarik kesimpulan atau pengetahuan ilmiah.
·         Ciri-ciri Bahasa Ilmiah
Dalam komunikasi ilmiah, tentu yang dipakai adalah bahasa ilmiah, lisan maupun tulisan. Bahasa ilmiah berbeda dengan bahasa sastra, bahasa agama, bahasa percakapan sehari-hari, dan ragam bahasa lainnya. Bahasa ilmiah memiliki ciri-ciri tersendiri, yaitu informatif, reproduktif atau intersubjektif, dan  antiseptik. Informatif berarti bahwa bahasa ilmiah mengungkapan informasi atau pengetahuan. Informasi atau pengetahuan ini dinyatakan secara eksplisit dan jelas untuk menghindari kesalahpahaman.
Maksud ciri reproduktif adalah bahwa pembicara atau penulis menyampaikan informasi yang sama dengan informasi yang diterima oleh pendengar atau pembacanya. Menurut Kemeny, antiseptik berarti bahwa bahasa ilmiah itu objektif dan tidak memuat unsur emotif, kendatipun pada kenyataannya unsur emotif ini sulit dilepaskan dari unsur informatif.

Slamet Iman Santoso dalam Jujun S. Suriasumantri  (199:227) mengimbuhkan bahwa bahasa ilmiah itu bersifat deskriptif (descriptive language). Artinya, bahasa ilmiah menjelaskan fakta dan pemikiran; dan pernyataan-pernyataan dalam bahasa ilmiah bisa diuji benar-salahnya. Beerling, Kwee, Mooij, Van Peursen (1990:123) menambahkan ciri intersubjektif, yaitu ungkapan-ungkapan yang dipakai mengandung makna-makna yang sama bagi para pemakainya.

D.    Hubungan Bahasa Dengan Filsafat
Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa di antara fungsi bahasa ialah sebagai alat untuk mengkomunikasikan suatu gagasan kepada orang lain. Setiap gagasan yang dihasilkan seseorang tidak akan diketahui oleh khalayak manakalah tidak dikomunikasikan melalui bahasa.
Bahasa tidak saja sebagai alat komunikasi untuk mengantarkan proses hubungan antarmanusia, tetapi jangan lupa, bahasa pun mampu mengubah seluruh kehidupan manusia. Artinya, bahwa bahasa merupakan aspek terpenting dari kehidupan manusia. Sekelompok manusia atau bangsa yang hidup dalam kurun waktu tertentu tidak akan bisa bertahan jika dalam bangsa teresbut tidak ada bahasa. Kearifan melayu mengatakan : “bahasa adalah cermin budaya bangsa, hilang budaya maka hilang bangsa”. Jadi bahasa dalah sine qua non, suatu yang mesti ada bagi kebudayaan dan masyarakat manusia.
Karena itu, siapa pun orang akan senantiasa melakukan relasi yang erat dengan bahasa. Seorang filosofi, misalnya, ia akan senantiasa bergantung kepada bahasa. Fakta telah menunjukkan bahwa ungkapan pikiran dan hasil-hasil perenungan filosofis seseorang tidak dapat dilakukan tanpa bahasa. Bagaimanapun alat paling utama dari filsafat adalah bahasa. Tanpa bahasa, seorang filosof (ahli filsafat) tidak mungkin bisa mengungkapkan perenungan kefilsafatannya kepada orang lain. Tanpa bantuan bahasa, seseorang tidak akan mengerti tentang buah pikiran kefilsafatan.
Louis o. Katsooff berpendapat bahawa suatu system filsafat sebenarnya dalam arti tertentu dapat dipandang sebagai suatu bahasa, dan perenungan kefilsafatan dapat dipandang sebagai suatu upaya penyusunan bahasa tersebut. Karena itu filsafat dan bahasa senantiasa akan beriringan, tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Ia bagaikan gula dengan manisnya. Keduanya memiliki cinta yang sejati, sebuah cinta yang tidak mengetengahkan dimiliki dan memiliki. Hal ini karena bahasa pada hakikatnya merupakan sistem symbol-simbol. Sedangkan tugas filsafat yang utama adalah mencari jawab dan makna dari seluruh symbol yang menampakkan diri di alam semesta ini. Bahasa juga adalah alat untuk membongkar seluruh rahasia symbol-simbol tersebut.
Dari uraian di atas, maka jelaslah bahwa bahasa dan filsafat memiliki hubungan atau relasi yang sangat erat, dan sekaligus merupakan hokum kausalitas (sebab musabbab dan akibat) yang tidak dapat ditolak kehadirannya. Sebab itulah seorang filosof (ahli filsafat), baik secara langsung maupun tidak, akan senantiasa menjadikan bahasa sebagai sahabat akrabnya yang tidak akan terpisahkan oleh siapa pun dan dalam kondisi bagaimanapun. Bahkan akhir-akhir ini “bahasa” telah dijadikan sebagai objek yang sangat menarik bagi perenungan, pembahasan dan penelitian dunia filsafat. Hal ini selain bahasa memiliki daya tarik tersendiri untuk dijadikan objek penelitian filsafat, ia juga memiliki kelemahan-kelemahan tertentu sehubungan dengan fungsi dan perannya yang begitu luas dan kompleks. Salah satu kelemahannya yaitu tidak mengetahui dirinya secara tuntas dan sempurna, sebagaimana mata tidak dapat melihat dirinya sendiri.
Realitas semacam itulah, barangkali yang mendorong para filosof dari tradisi realisme di inggris mengalihkan orientasi kajian kefilsafatannya pada analisis bahasa seperti yang telah dilakukan oleh george more (1873-1958), bertrand russel (1872-1970), ludwig wittgenstein (1889-1951), alfref ayer (1910- ), dan yang lainnya. Dalam perkembangan selanjutnya, kelompok ini sering dikelompokkan sebagai aliran baru dalam filsafat, yaitu aliran filsafat analisis bahasa atau filsafat analitis.
Sebagaimana dijelaskan bahwa filsafat bahasa bahasa adalah pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat bahasa, sebab, asal, dan hukumnya. Hubungan bahasa dengan filsafat telah lama menjadi perhatian para filsuf bahkan sejak zaman yunani. Para filsuf mengetahui bahwa berbagai macam problem filsafat dapat dijelaskan melalui suatu analisis bahasa.

E.     Beberapa Kekurangan Bahasa
Sebagai sarana komunikasi ilmiah maka bahasa mempunyai kekurangan. Kekurangan ini pada hakikatnya terletak pada peranan bahasa itu sendiri yang bersifat multifungsi yakni sebagai sarana komunikasi emotif, afektif, dan simbolik. Dalam komunikasi ilmiah kita ingin menggunakan aspek simbolik saja dari ketiga fungsi tersebut tadi dimana kita mengkomunikasikan informasi tanpa kaitan emotif dalam afektif. Dalam kenyataan hal ini tidak mungkin: bahasa verbal mau tidak mau mengandung ketiga unsur  yang bersifat emotif, afektif, dan simbolik tadi.
Karena fungsi dan peranan bahasa begitu luas dan kompleks bagi kehidupan umat manusia, maka kita akan diperhadapkan pada kesulitan yang sangat berarti mengenai bahasa. Kesulitan itu ialah, bahasa bahasa dalam realitasnya memiliki kelemahan-kelamahan. Kelemahan-kelamahan itu ditimbulkan oleh si pemakai bahasa atau kelemahan yang timbul dari diri bahasa itu sendiri. Diantara kelemahan-kelemahan dari bahasa itu akan diurai dalam pembahasan berikut ini :
Pertama, bahasa sebagai suatu system symbol ternyata tidak dapat mengungkap seluruh realitas yang ada di dunia ini. Ketidakmampuannya itu karena realitas-realitas itu pada dasarnya merupakan symbol-simbol yang mesti diberi makna. Juga seperti yang diungkapkan wittgenstein, bahwa karena bahasa merupakan gambar dunia, subjek yang menggunakan bahasa tidak termasuk menggambarkan dunia. Seperti mata tidak dapat diarahkan kepada dirinya sendiri, demikian juga subjek yang menggunakan bahasa tidak dapat mengarahkan bahasa kepada dirinya sendiri.
Kedua, bahasa ketika digunakan oleh pengguna bahasa seringkali memiliki kecendrungan emosional dan tidak terarah. Meskipun bahasa digunakan dalam konteks ilmiah. Kita sering mengemukakan kata-kata (bahasa) yang digunakan dalam perdebatan ilmiah kurang mengandung arti yang pasti dan rasional yang dapat berakibat timbulnya tidak masuk akal, terutama apabila suatu argument tergantung pada rangsang emosi dan tidak memberikan informasi yang logis.
Ketiga, sering dijumpai ungkapan-ungkapan bahasa dimanipulasi demi kepentingan-kepentingan tertentu, seperti kepentingan kampanye politik, ras, suku, doktrin ajaran tertentu, dan lain-lain. Dalam ilmu bahasa peristiwa itu lazim disebut dengan istilah “eufemisme” bahasa, yaitu ungkapan yang lebih luas sebagai pengganti yang dirasakan kasar, yang dianggap merugikan atau tidak menyenangkan, misalnya kata “meninggal dunia” untuk mati, wanita untuk “perempuan”, ”kupu-kupu malam” untuk “wanita pelacur”, dan “tuna wisma” untuk orang yang tidak memiliki tempat tinggal.
Keempat, suatu ungkapan bahasa sering dijumpai menibulkan arti ganda, karena tidak semua ungkapan bahasa mampu melukiskan satu arti. Kegandaan arti tersebut biasanya ditimbulkan oleh istilah-istilah yang goyah atau lemah rumusan atau masalahnya.
Kelima, ungkapan bahasa sering juga menimbulkan banyak arti atau arti yang sama. Penggunaan istilah untuk lebih dari satu arti, sementara kesan yang diberikan untuk mengatakan hanya satu arti yang sama dalam perdebatan. Kekeliruan atau kelemahan tadi adalah akibat dari anggapan yang salah bahwa kata itu digunakan sepanjang diskusi tertnetu untuk memberikan arti yang tunggal.
Keenam, bahasa tidak selamanya mampu memberikan respon, seperti selama ini dianggap sebagian besar orang bahwa ungkapan-ungkapan bahasa yang dilontarkan akan senantiasa memebrikan respons sesuai dengan keinginan si pemakai. Tetapi dalam kenyataannya sering uangkapan-ungkapan bahasayang dilontarkan oleh si pemakai tidak memberikan respons sebagaimana yang diinginkan. Seorang perjaka, misalnya, ia menegur seorang gadis cantik yang selama ini ia idam-idamkan. Tetapi karena kgadis terebut tidak mencintainya, maka teguran dan sapaan tidak direspons sesuai dengan yang diharapkan. Bagi si perjaka mungkin sapaan tersebut merupakan ungkapan rasa cinta, tapi bagi si gadis ungkapan itu dianggap teguran biasa disamping jalan.
Ketujuh, anggapan bahwa setiap ide yang akan diungkapkan oleh pemakai bahasa itu ada kata atau istilah yang tersedia. Mereka yang berpandangan seperti ini, mengidentifikasikan arti sebuah istilah atau ungkangapn dengan ide-ide yang menimbulkan dan juga ditimbulkan oleh ungkapan atau istilah tersebut. Padahal dalam ungkapan sehari-hari kita sering menjumpai ungkapan-ungkapan atau kata-kata yang tidak ditimbulkan oleh ide apapun. Misalnya, ungkapan penghubung “yang”, ungkapa pengandaian “jika” “dan yang lainnya (kata-kata semacam itu dinamakan syntegorematic), yaitu kata-kata yang tidak dapat dikatakan timbul ole hide-ide tertentu.
Kedelapan, banyak orang yang beranggapan bahwa setiap kata yang diungkapkan itu me-refer atau mengacu kepada suatu objek yang konkrit, empiris, dan dapat dibuktikan secara empiric. Padahal banyak kata-kata yang dijumpai dalam kehidupan kita sehari-hari yang tidak mengacu kepada objek yang konkrit ada di dunia. Misalnya, ungkapan kata “al- jannah” (surga) dan “al-nar” (neraka) yang diambil dari untaian firman tuhan dalam kitab suci. Kata-kata ini susah untuk dibuktikan sebagai sesuatu ungkapan yang mengacu kepada dunia konkri. Bahkan mungkin untuk sebagian orang yang tidak mempercayainya ungkapan-ungkapan itu hanyalah ungkapan kosong yang tidak mengandung makna apapun.




BAB III
Penutup
A.    Kesimpulan

1.         Bahasa sebagai alat komunikasi bagi manusia memiliki keteraturan. Keteraturan bahasa ini dapat dipelajarai dalam ilmu bahasa atau linguistik.

2.         Bahasa adalah alat untuk berinteraksi atau alat untuk berkomunikasi, dalam arti alat untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep atau perasaan.

3.      Bahasa sebagai sarana berpikir ilmiah, yaitu ada dua hal yang harus diperhatikan masalah sarana ilmiah, yaitu pertama, sarana ilmiah itu merupakan ilmu dalam pengertian bahwa ia merupakan kumpulan pengetahuan yang didapatkan berdasarkan metode ilmiah, seperti menggunakan pola berpikir induktif dan deduktif dalam mendapatkan pengetahuan. Kedua, tujuan mempelajari sarana ilmiah adalah agar dapat melakukan penelaahan ilmiah secara baik

4.      Bahasa dan filsafat memiliki hubungan atau relasi yang sangat erat, dan sekaligus merupakan hokum kausalitas (sebab musabbab dan akibat) yang tidak dapat ditolak kehadirannya

5.      Kekurangan bahasa pada hakikatnya terletak pada peranan bahasa itu sendiri yang bersifat multifungsi yakni sebagai sarana komunikasi emotif, afektif, dan simbolik.





Daftar Pusaka
                                                                                                                                        

3.      Jujun S., Filsafat Ilmu. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar